Senin, 29 April 2013

SISTEM BIROKRASI dan EKONOMI KOLONIAL PADA MASA TANAM PAKSA



Birokrasi

   Masyarakat Kolonial awal abad ke-20 terdiri dari berbagai golongan yang oleh seorang ahli ilmu sosial dikatakan dapat dibedakan menurut garis warna kulit. Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan masyarakat itu, adalah orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaannya berpusat pada seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya yang membawahi berbagai departemen. Kemudian. para gubernur di daerah-daerah yang dikuasai Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan kedinasan. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elite birokrasi kolonial yang dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Pusat-pusat birokrasi kolonial di kota-kota menimbulkan suatu lapisan masyarakat Belanda yang terutama sejak awal abad ke-20 sangat eksklusif. Kota-kota juga merupakan pusat-pusat administrasi modal swasta yang mengolah perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan Iain-lain. Kota-kota zaman kolonial memang sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
   Di kota-kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal Belanda, turunan Belanda, (Indo-Belanda), kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai suku bangsa. "Timur Asing" atau Cina dan Arab, menduduki ternpat yang khusus dalam kota-kota kolonial karena peranan mereka yang terlepas dari birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Sebagian di antara mereka adalah hasil percampuran biologis dengan masyarakat setempat (Leirissa, 1985: 10).
Apabila kita ambil desa di Jawa sebagai contoh (karena sudah banyak diselidiki) maka susunannya adalah sebagai berikut: Kedudukan yang paling tinggi terdapat di kalangan petani yang memiliki tanah, kebun dan rumah. Mereka dianggap cikal-bakal desa (orang-orang yang pertama kali membuka desa yang bersangkutan) dan pemegang jabatan-jabatan pamong desa. Selanjutnya ter­dapat kelompok yang tidak memiliki tanah, tetapi hanya memiliki rumah dan pekarangan (kebun). Mereka dianggap orang-orang yang datang kemudian menyusul kelompok per­tama. Dalam situasi tertentu seperti dalam masa Tanam Paksa (1830-1870), kelompok cikal-bakal banyak kehilangan prioritas untuk menduduki pamong desa, dan dengan demikian muncullah tokoh-tokoh dari kelompok kedua. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang hanya memiliki rumah saja yang dibangun di tanah sal ah satu kelompok di atas (kelompok numpang). Kelompok ketiga ini, dan kebanyakan dari kelompok kedua, mendapat penghasilan dengan mengerjakan tanah dari kelompok pertama. Kelompok yang keempat adalah mereka yang tidak memilih apa-apa. Kelompok inilah yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam masya­rakat pedesaan.
   Perkembangan masyarakat kota dan masyarakat pede­saan tersebut di atas merupakan bagian dari sejarah masya­rakat Indonesia, Faktor yang menimbulkan kelompok-kelompok baru yang kita namakan masyarakat Indonesia adalah pertama, perkembangan birokrasi, kedua perkembangan eko­nomi, dan ketiga perkembangan sistern pendidikan Barat. Sebelum menguraikan munculnya masyarakat Indonesia perlu pula diperhatikan keadaan masyarakat pedesaan yang sedikit mempengaruhi ideologi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat Indonesia itu. Masa antara 1870 sampai 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa liberal, artinya masa di mana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli Rempah-rempah) dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan.
Dalam periode 1870 sampai 1900 wilayah kekuasaan Hindia Belanda juga meluas meliputi wilayah yang kita kenal sekarang (Sabang-Merauke). Perluasan wilayah ini ada hubunganannya dengan tuntutan-tuntutan pihak swasta untuk meluaskan jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan-tuntutan keamanan, serta saingan-saingan negara-negara Barat Iainnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam masa 1870 sampai 1900 sehiruh wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hindia Belanda sampai ke desa-desa.
   Daerah-daerah yang diperintah Belanda meliputi wilayah-wilayah di pulau Jawa, kepulauan Ambon yang sejak abad ke-17 sudah dimasukkan dalam kekuasaan Hindia Belanda, kepulauan Bangka Biliton yang menghasilkan timah, daerah dan berbagai tempat (di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Irian Jaya) yang dicaplok berangsur-angsur sejak abad ke-17 pula.
Pernah timbul istilah direct-rule dan indirect rule untuk melukiskan/menganalisa perbedaan-perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut. Yang dimaksud dengan pemerintah indirect-rule adalah sistem pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Wilayah keraja-an Yogjakarta dan Surakarta merupakan salah satu contohnya. Sistem pemerintah direct-rule yang jelas nampak di Kepulauan Ambon, yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa.
Birokrasi tradisional di kerajaan besar di Indonesia berubah secara menarik dalam masa penjajahan. Sejak abad ke 18 pihak penguasa di Batavia sudah berhubungan dengan birokrasi tradisional itu. Dalam proses interaksi antara kaum priyayi dan penguasa Belanda timbullah suatu jaringan hubungan khas. Para priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat per antara dari pihak Belanda. Para priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Perdagangan tersebut bersifat monopolistis. maksudnya komoditi yang sebelumnya menjadi monopoli kaum priyayi (seperti perdagangan beras, dan lain-lain) menjadi monopoli Batavia dengan para priyayi sebagai perantara saja. Kekuasaan priyayi tidak lagi tergantung pada sultan (para yayi = adik raja), tetapi pada pihak Kompeni.
    Dengan timbulnya Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan, walau kaum priyayi beralih menjadi pengawas-pengawas perkebunan. Hubungan priyayi dan petani pun tidak berubah. Pengerahan tenaga untuk melaksanakan sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yang sudah ada sebelumnya. Namun ada segi-segi yang baru pertama, para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah-daerah (para controleur), selain itu para priyayi dan para controluer mempunyai kepentingan dalam mengsukseskan sistem itu kare-na mereka menikmati cultuurprocent atau suatu presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan oleh rakyat. Ini berarti bagi petani sistem pertanian yang dipaksakan itu menjadi suatu sistem yang memberatkan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian kaum priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda. Mereka tetap menjalankan fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dan Iain-lain), namun untuk kepentingan asing.
Perkembangan sejak 1870 menimbulkan perubahan-perubahan berikutnya. Jaringan ko munikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga makin banyak dan makin sering dili-hat di lingkungan pedesaan; jaringan administrasi makin diper-luas ke daerah pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. Timbul umpamanya kebutuhan untuk memberikan sekedar pendidikan formal bagi calon-calon Bupati, sehingga didirikanlah Hoofdenschool (sekolah raja) pada tahun 1879 di Jawa dan kemudian di Sumatera dan di Sulawesi Utara. Maka di samping Binnenlands Bestuur (BB) terdapat birokrasi trasdisional (Inlands Bestuur) yang berada di bawah BB. Antara keduanya terdapat jurang pemisah yang sangat sulit dilampaui (Leirissa, 1985: 14-15).
   Elite birokrasi Belanda (Binnenlands Bestuur) yang terdiri atas orang-orang Belanda itu makin memaksakan cara-cara pemerintahan mereka, dan mereka makin mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi lebih banyak diberi kelonggaran dalam memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini mencapai puncak perkembangannya dalam apa yang dinamakan politik etika. Perkembangan sistem pendidikan yang dihasilkan politik etika akan diuraikan dalam bagian lain.
Tahapan berikut dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan sistem pendidikan yang dibangun sejak awal abad ke-20. Sistem pendidikan itu menciptakan suatu golongan baru dalam masyarakat yang sering dinamakan yaitu pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu. Golongan ini tidak hanya timbul di Jawa saja karena gejala yang sama nampak pula di pula-pulau lainnya di Indonesia.
Kebanyakan memang berasal dari lingkungan bangsawan. Mula-mula putra-putra kedua atau ketiga dari kaum bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tua mereka sebagai pejabat pemerintahan (Bupati, dan lain-lain) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Setelah lulus berbagai sekolah kejuruan menengah tersebut di atas, mereka ditempatkan dalam berbagai kedinasan baru yang diciptakan Belanda dalam rangka politik etika.
Apabila sebelumnya tugas pemerintah Hindia Belanda (pe­jabat-pejabat Belanda dan kaum priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan-perkebunan (Tanam Paksa), maka kini birokrasi itu dibebani tugas untuk memelihara kesejahteraan penduduk. Timbullah departemen-departemen baru di Batavia dengan kedinasan-kedinasannya yang bercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan yang diciptakan sebelumnya (1892) muncul departemen pertanian, dan departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dan lain-lain, sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul di kalangan priyayi yang terdidik itu. Demikian pula kantor-kantor swasta memer-lukan pegawai-pegawai rendahan yang banyak jumlahnya.
   Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia. Mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup Barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada uang. Suatu keberanian untuk mengambil nilai-nilai baru yang sebe­lumnya tidak dikenal. Ini menunjukkan adanya suatu dinamika dalam masyarakat, atau suatu vitalitas kebudayaan, sejak awal abad ke-20.
Menurut pendapat sementara sejarawan, ada tiga macam konsekuensi yang perlu diperhatikan dengan timbulnya golong­an baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu ambisi yang dominan dalam suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi birokratis (yang di Jawa dinamakan golongan priyayi). Ini berarti alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan situasi baru sejak abad-abad ke-20. Kedua, sekalipun ada persamaan-persamaan antara pejabat-pejabat Belanda dan pe­jabat-pejabat Indonesia (sifat elitis, asumsi-asumsi dasar yang sama mengcnai pemerintahan, bahasa pengantar yang sama) namun rasialisme tetap dipertahankan; orang-orang Belanda di' atas, dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cende-rung di bawah. Ketiga, golongan baru dalam masyarakat Indo­nesia ini cenderung menjauh dari rakyat pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional (Leirissa, 1985: 17).
   Selain perkembangan birokrasi, perkembangan baru .dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan prasarana. Ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 Km jalan kereta api, dan di Sumatera sudah ada 3500 Km. Sistem komunikasi lainnya yang menghubungi pulau-pulau adalah perkapalari. Kapal uap mulai diintrodusir oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan dibentuknya suatu perusahaan pelayaran (Koningklijke Paketvaart Maats-chappy). Pelabuhan Tanjung Priok dibangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan Padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya. Akibat dari sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah-daerah perkotaan.
Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Dalam sistem lama seorang penguasa tradisional penting cuma karena kehadirannya saja. Kehadirannya merupakan suatu simbol dari suatu sistem sosial dan alam pikiran yang berintikan keseimbangan antara manusia dan kos-mos. Rakyat menerima penguasa karena simbol tersebut. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut. Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa bersamaan dengan munculnya sistem birokrasi baru itu muncul pula kesenjangan budaya antara kaum penguasa (birokrasi) dan rakyat pada umumnya.

Perekonomian Kolonial

    Dilihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 daji wal abad ke-20 Indonesia sedang terlibat dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem manufacturing (pabrik) menggantikan sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan berbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru antara kota dan desa, dan lain-lain. Pihak pemerintah pun ikut campur memikirkan akibat-akibatnya, dan kaum cendekiawan bermunculan dengan berbagai teori untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang pesat itu. Dengan sendirinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inheren dalam sistem baru tersebut (Leirissa, 1985: 31-32).
Bagi daerah-daerah jajahan manifestasi dari perkembangan ekonomi moderen itu tampak dari dua segi pokok. Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan dasar bagi industri yang makin meluas itu. Bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropis. Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin meningkat pula. Daerah tropis yang jumlah penduduknya cukup banyak itu dilihat sebagai suatu potensi besar dalam segi ini. Inilah yang menyebabkan daerah-daerah tropik, terutama bekas daerah perdagangan negara-negara Barat, mendapat arti yang baru. Inilah yang juga menimbulkan perubahan dalam tahun 1860-1870 dengan munculnya sistem Liberal di Indo­nesia. Hal ini antara lain nampak dengan munculnya sistem perkebunan swasta modern di Indonesia.
   Perkembangan perkebunan yang paling menarik adalah di Sumatera Timur. Perkembangan baru di Sumatera Timur sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) di sana. Sebelum itu daerah Sumatera Timur memang sudah dikenal dengan tembakau yang dihasilkan rakyat. Mutu tembakau di sana cukup baik dan Neinhuis memutuskan untuk mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen pertama sebanyak 186 bal yang dengan mudah dijual di Negeri Belanda. Keberhasilan Nienhuis ini segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya. Malah Niehuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya.
Tetapi kelebihan produksi itu dengan sendirinya menim­bulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan tembakau sehingga harga tembakau turun cepat. Dalam waktu tiga tahun saja 25 perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagai akibat tinggalah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Me­reka giat mengadakan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan   Pemilik   Perkebunan   Tembakau. Kemudian diadakan   perbaikan-perbaikan   dalam   pemasaran sehingga nama Tembakau Deli muncul lagi di dunia.
   Hal menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di Sumatera Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan buruh Cina melalui perantara-perantara di Penang dan Singapu-ra. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka Perkumpulan Pemilik Perkebunan Tembakau Deli mencari jalan lain. Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama Biro Imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari Cina. Biro ini selain mengurus pemberang-katan calon-calon buruh tersebut juga mengusahakan suatu sistem tranfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga mereka di Cina. Dengan demi-kian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh menan-datangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu. Sistem kontrak itu disahkan melalui undang-undang Koeli Ordinantie.
   Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk Sumatera Timur telah meningkat menjadi 1,8 juta (sebelumnya hanya sekitar 10.000). Di antaranya 645.000 adalah berasal dari Jawa 225.000 menjadi buruh perkebunan), dan 195.000 berasal dari Cina (11.000 menjadi buruh perkebunan). Tidak semua sistem perkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di Jawa Tengah bagian Utara. Selain itu undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870 juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu", kemudian meningkat pada tahun 1900 menjadi 128.301 bahu. Perkebunan-perkebunan besar lainnya yang' menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina (Leirissa, 1985: 34).
   Dampak bagi masyarakat pedesaan sementara menurut ahli sejarah Asia, ada tiga hal yang penting. Pertama, masya­rakat pedesaan yang tadhfya tertutup (self suficient), makin dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menem-. bus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumahtangga-rumahtangga desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan Iain-lain), Jadi penduduk desa mulai mengenal barang-barang kebutuhan baru dan mulai terkait pada sistem ekonomi yang lebih luas. Kedua, politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa. Umpamanya dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga, pertambahan penduduk yang sangat pesat. Ini terutama disebabkan menurunnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan (Leirissa, 1985: 34-35).
Suatu persoalan yang menarik menurut para sejarawan tersebut adalah kurangnya economic mobility di kalangan masyarakat tingkat priyayi ataupun santri. Dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di Eropa, sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Umpamanya peranan pedagang perantara yang menyalurkan hasil-hasil perkebunan rakyat dan hasil agraria lainnya ke kota-kota besar (untuk disalurkan ke luar negeri ataupun untuk dipakai sendiri oleh penghuni kota) atau pun sebagai penyalur barang-barang konsumsi baru yang mulai meluas sampai ke taraf pedesaan. Yang mengambil ke-sempatan ini ternyata orang-orang Cina yang sudah lama sebelumnya banyak terdapat di Indonesia dan lain-lain daerah di Asia Tenggara.
   Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang-pedagang, karena para pedagang dan tukang-tukang Indonesia melarikan diri atau tidak diperkenankan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri yang diatur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin ini diberi berbagi pangkat seperti Kapitan Cina, Letnan Cina dan lain-lain. Dengan timbulnya perubahan-perubahan yang pesat dalam bidang ekonomi abad ke-19 orang-orang Cina ini juga cepat sekali menyesuaikan diri. Merekalah yang akhirnya muncul sebagai pedagang-pedagang perantara.
Menurut penelitian beberapa sejarawan kelebihan orang-orang Cina (economic mobility me­reka) disebabkan beberapa hal. Pertama, sebelum bermigrasi ke Indonesia (dan Asia Tenggara lainnya) mereka telah me-ngenal suatu sistem pcrdagangan yang luas jangkauan daerahnya dengan suatu sistem moncter tertentu. Selain itu kekompakan mereka untuk bekerja secara gotong royong dalam bidang eko­nomi. Kegiatan dagang mereka selalu didasarkan pada ke-lompok-kclompok kekerabatan, kelompok-kelompok bahasa. Oambaran  mengenai  seorang santri justru  berbeda; santri sangat individual, bcrgerak sendiri-sendiri saja sehingga volume pcrdagangannya tidak besar, dan kemungkinan-kemungkinan perluasan (atau memasuki lapangan-lapangan baru) sangat terbatas (Leirissa, 1985: 37).
   Sejumlah sejarawan juga mempersoalkan mengapa kaum priyayi tidak mengambil kesempatan-kesempatan bagus ter­sebut. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa bagi kaum priyayi perdagangan adalah fungsi untuk golongan rendahan. Umpamanya,  mereka  mempunyai hak untuk lebih dahulu mengadakan transaksi dagang dengan pedagang-pedagang yang datang di kota-kota pelabuhan sebeelum golongan rakyat mendapat kesempatan. Sering perdagangan barang-barang tertentu merupakan hak istimewa atau monopoli golongan priyayi seperti umpamanya perdagangan beras di pantai utara Jawa, atau perdagangan cengkeh di Malu­ku. Dengan terpancangnya sistem monopoli VOC maka peranan ekonomi dari kaum penguasa ini pun menghilang. Di Maluku mereka hanya bertindak sebagai penyalur cengkeh dari rakyat kepada VOC. Semua segi ekonomi dari percengkehan ini sudah tidak ada lagi.
    Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda. Para bupati dalam abad ke-18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang VOC berjalan dengan lancar. Dengan pihak Sultan di keraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras, kemudian kopi, dan lain-lain. Pembatasan inilah yang meru­pakan landasan yang mendorong timbulnya gerakan-gerakan Sarckat Dagang Islam di beberapa kota di Jawa dalam awal abad ke-20.
 
Leirissa, R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

1 komentar: