Birokrasi
Masyarakat Kolonial awal abad ke-20
terdiri dari berbagai golongan yang oleh seorang ahli ilmu sosial dikatakan
dapat dibedakan menurut garis warna kulit. Golongan yang secara politik dan
ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan masyarakat itu, adalah
orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaannya berpusat pada seorang Gubernur
Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai
kabinetnya yang membawahi berbagai departemen. Kemudian. para gubernur di
daerah-daerah yang dikuasai Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan
kedinasan. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen,
Asisten Residen, Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elite birokrasi
kolonial yang dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Pusat-pusat birokrasi
kolonial di kota-kota menimbulkan suatu lapisan masyarakat Belanda yang
terutama sejak awal abad ke-20 sangat eksklusif. Kota-kota juga merupakan
pusat-pusat administrasi modal swasta yang mengolah perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan
Iain-lain. Kota-kota zaman kolonial memang sengaja dibangun demi kepentingan
birokrasi dan administrasi ekonomi.
Di kota-kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal Belanda,
turunan Belanda, (Indo-Belanda), kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai
suku bangsa. "Timur Asing" atau Cina dan Arab, menduduki ternpat yang
khusus dalam kota-kota kolonial karena peranan mereka yang terlepas dari
birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi.
Sebagian di antara mereka adalah hasil percampuran biologis dengan masyarakat
setempat (Leirissa, 1985: 10).
Apabila kita ambil desa di Jawa sebagai contoh (karena sudah banyak
diselidiki) maka susunannya adalah sebagai berikut: Kedudukan yang paling
tinggi terdapat di kalangan petani yang memiliki tanah, kebun dan rumah. Mereka
dianggap cikal-bakal desa (orang-orang yang pertama kali membuka desa yang
bersangkutan) dan pemegang jabatan-jabatan pamong desa. Selanjutnya terdapat
kelompok yang tidak memiliki tanah, tetapi hanya memiliki rumah dan pekarangan
(kebun). Mereka dianggap orang-orang yang datang kemudian menyusul kelompok pertama.
Dalam situasi tertentu seperti dalam masa Tanam Paksa (1830-1870), kelompok cikal-bakal
banyak kehilangan prioritas untuk menduduki pamong desa, dan dengan demikian
muncullah tokoh-tokoh dari kelompok kedua. Kelompok yang ketiga adalah mereka
yang hanya memiliki rumah saja yang dibangun di tanah sal ah satu kelompok di
atas (kelompok numpang). Kelompok ketiga ini, dan kebanyakan dari kelompok
kedua, mendapat penghasilan dengan mengerjakan tanah dari kelompok pertama.
Kelompok yang keempat adalah mereka yang tidak memilih apa-apa. Kelompok inilah
yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat pedesaan.
Perkembangan masyarakat kota dan masyarakat pedesaan tersebut di atas
merupakan bagian dari sejarah masyarakat Indonesia, Faktor yang menimbulkan
kelompok-kelompok baru yang kita namakan masyarakat Indonesia adalah pertama, perkembangan birokrasi, kedua perkembangan ekonomi, dan ketiga perkembangan sistern pendidikan
Barat. Sebelum menguraikan munculnya
masyarakat Indonesia perlu pula diperhatikan keadaan masyarakat pedesaan yang
sedikit mempengaruhi ideologi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat
Indonesia itu. Masa antara 1870 sampai 1900 dalam sejarah kolonial dilihat
sebagai masa liberal, artinya masa di mana pemerintah melepaskan
peranan-peranan ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli Rempah-rempah) dan menyerahkan
eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai
wasit atau penjaga keamanan.
Dalam periode 1870 sampai 1900 wilayah kekuasaan Hindia Belanda juga
meluas meliputi wilayah yang kita kenal sekarang (Sabang-Merauke). Perluasan
wilayah ini ada hubunganannya dengan tuntutan-tuntutan pihak swasta untuk meluaskan
jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan-tuntutan keamanan, serta
saingan-saingan negara-negara Barat Iainnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa
dalam masa 1870 sampai 1900 sehiruh wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hindia
Belanda sampai ke desa-desa.
Daerah-daerah yang diperintah Belanda
meliputi wilayah-wilayah di pulau Jawa, kepulauan Ambon yang sejak abad ke-17
sudah dimasukkan dalam kekuasaan Hindia Belanda, kepulauan Bangka Biliton yang
menghasilkan timah, daerah dan berbagai tempat (di Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Irian Jaya) yang dicaplok
berangsur-angsur sejak abad ke-17 pula.
Pernah timbul istilah direct-rule dan indirect rule untuk melukiskan/menganalisa
perbedaan-perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut. Yang dimaksud dengan pemerintah
indirect-rule adalah sistem pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang
telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan
Belanda. Wilayah keraja-an Yogjakarta dan Surakarta merupakan salah satu
contohnya. Sistem pemerintah direct-rule yang
jelas nampak di Kepulauan Ambon, yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di
mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala
desa.
Birokrasi tradisional di kerajaan besar
di Indonesia berubah secara menarik dalam masa penjajahan. Sejak abad ke 18
pihak penguasa di Batavia sudah berhubungan dengan birokrasi tradisional itu.
Dalam proses interaksi antara kaum priyayi dan penguasa Belanda timbullah suatu
jaringan hubungan khas. Para priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan
dari para sultan di keraton berubah menjadi alat per antara dari pihak Belanda.
Para priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah
pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Perdagangan tersebut bersifat
monopolistis. maksudnya komoditi yang sebelumnya menjadi monopoli kaum priyayi
(seperti perdagangan beras, dan lain-lain) menjadi monopoli Batavia dengan para
priyayi sebagai perantara saja. Kekuasaan priyayi tidak lagi tergantung pada
sultan (para yayi = adik raja), tetapi pada pihak Kompeni.
Dengan timbulnya Sistem Tanam Paksa
tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan,
walau kaum priyayi beralih menjadi pengawas-pengawas perkebunan. Hubungan priyayi
dan petani pun tidak berubah. Pengerahan tenaga untuk melaksanakan sistem Tanam
Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada
priyayi yang sudah ada sebelumnya. Namun ada segi-segi yang baru pertama, para
petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di
daerah-daerah (para controleur), selain itu para priyayi dan para controluer
mempunyai kepentingan dalam mengsukseskan sistem itu kare-na mereka menikmati cultuurprocent atau suatu presentase
tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan oleh rakyat. Ini berarti bagi petani
sistem pertanian yang dipaksakan itu menjadi suatu sistem yang memberatkan
kehidupan pada umumnya. Dengan demikian kaum priyayi kini hanya menjadi bagian
dari birokrasi Hindia Belanda. Mereka tetap menjalankan fungsi sebagai
penguasa-penguasa daerah (bupati, dan Iain-lain), namun untuk kepentingan
asing.
Perkembangan sejak 1870 menimbulkan
perubahan-perubahan berikutnya. Jaringan ko munikasi (jalan) lebih mendekatkan
desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga makin banyak dan makin
sering dili-hat di lingkungan pedesaan; jaringan administrasi makin diper-luas
ke daerah pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur
menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. Timbul
umpamanya kebutuhan untuk memberikan sekedar pendidikan formal bagi calon-calon
Bupati, sehingga didirikanlah Hoofdenschool (sekolah raja) pada tahun 1879 di Jawa
dan kemudian di Sumatera dan di Sulawesi Utara. Maka di samping Binnenlands
Bestuur (BB) terdapat birokrasi trasdisional (Inlands Bestuur) yang berada di
bawah BB. Antara keduanya terdapat jurang pemisah yang sangat sulit dilampaui (Leirissa,
1985: 14-15).
Elite birokrasi Belanda (Binnenlands
Bestuur) yang terdiri atas orang-orang Belanda itu makin memaksakan cara-cara
pemerintahan mereka, dan mereka makin mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku
pada masa sebelumnya ketika para priyayi lebih banyak diberi kelonggaran dalam
memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini mencapai puncak perkembangannya dalam
apa yang dinamakan politik etika. Perkembangan sistem pendidikan yang
dihasilkan politik etika akan diuraikan dalam bagian lain.
Tahapan berikut dari perkembangan
birokrasi berkaitan dengan sistem pendidikan yang dibangun sejak awal abad
ke-20. Sistem pendidikan itu menciptakan suatu golongan baru dalam masyarakat
yang sering dinamakan yaitu pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu. Golongan
ini tidak hanya timbul di Jawa saja karena gejala yang sama nampak pula di
pula-pulau lainnya di Indonesia.
Kebanyakan memang berasal dari
lingkungan bangsawan. Mula-mula putra-putra kedua atau ketiga dari kaum
bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tua mereka sebagai
pejabat pemerintahan (Bupati, dan lain-lain) memasuki bidang baru ini untuk
meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Setelah lulus berbagai sekolah
kejuruan menengah tersebut di atas, mereka ditempatkan dalam berbagai kedinasan
baru yang diciptakan Belanda dalam rangka politik etika.
Apabila sebelumnya tugas pemerintah
Hindia Belanda (pejabat-pejabat Belanda dan kaum priyayi) hanya menyangkut
soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan-perkebunan (Tanam
Paksa), maka kini birokrasi itu dibebani tugas untuk memelihara kesejahteraan penduduk. Timbullah departemen-departemen baru di Batavia
dengan kedinasan-kedinasannya yang bercabang ke daerah-daerah. Selain departemen
pendidikan yang diciptakan sebelumnya (1892) muncul departemen pertanian, dan
departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon,
Telegrap, Kesehatan, dan lain-lain, sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga
yang muncul di kalangan priyayi yang terdidik itu. Demikian pula kantor-kantor
swasta memer-lukan pegawai-pegawai rendahan yang banyak jumlahnya.
Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah
Indonesia. Mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad
ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup Barat.
Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada
uang. Suatu keberanian untuk mengambil nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak dikenal. Ini menunjukkan
adanya suatu dinamika dalam masyarakat, atau suatu vitalitas kebudayaan, sejak
awal abad ke-20.
Menurut pendapat sementara
sejarawan, ada tiga macam konsekuensi yang perlu diperhatikan dengan timbulnya
golongan baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu ambisi yang dominan dalam
suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi
birokratis (yang di Jawa dinamakan golongan priyayi). Ini berarti alam pikiran hierarchis
(bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan
situasi baru sejak abad-abad ke-20. Kedua, sekalipun ada persamaan-persamaan
antara pejabat-pejabat Belanda dan pejabat-pejabat Indonesia (sifat elitis,
asumsi-asumsi dasar yang sama mengcnai pemerintahan, bahasa pengantar yang
sama) namun rasialisme tetap dipertahankan; orang-orang Belanda di' atas, dan
orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cende-rung di bawah. Ketiga,
golongan baru dalam masyarakat Indonesia ini cenderung menjauh dari rakyat
pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam
golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional (Leirissa, 1985:
17).
Selain perkembangan birokrasi,
perkembangan baru .dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan
prasarana. Ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem
komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 Km
jalan kereta api, dan di Sumatera sudah ada 3500 Km. Sistem komunikasi lainnya
yang menghubungi pulau-pulau adalah perkapalari. Kapal uap mulai diintrodusir
oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak
Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan dibentuknya suatu
perusahaan pelayaran (Koningklijke Paketvaart Maats-chappy). Pelabuhan Tanjung
Priok dibangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890,
pelabuhan Padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya. Akibat dari
sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara
daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur
terutama di daerah-daerah perkotaan.
Sistem birokrasi dan sistem
ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang
yang berkuasa di Nusantara. Dalam sistem lama seorang penguasa tradisional
penting cuma karena kehadirannya saja. Kehadirannya merupakan suatu simbol dari suatu
sistem sosial dan alam pikiran yang berintikan keseimbangan antara manusia dan
kos-mos. Rakyat menerima penguasa karena simbol tersebut. Dalam sistem baru
penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan
secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut.
Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa bersamaan dengan munculnya sistem
birokrasi baru itu muncul pula kesenjangan budaya antara kaum penguasa
(birokrasi) dan rakyat pada umumnya.
Perekonomian
Kolonial
Dilihat dari segi sejarah
ekonomi, dalam abad ke-19 daji wal abad ke-20 Indonesia sedang terlibat dalam
suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi
perdagangan. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem manufacturing (pabrik) menggantikan
sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam
jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu
menimbulkan berbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat,
hubungan-hubungan baru antara kota dan desa, dan lain-lain. Pihak pemerintah
pun ikut campur memikirkan akibat-akibatnya, dan kaum cendekiawan bermunculan dengan berbagai teori untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang
pesat itu. Dengan sendirinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inheren dalam sistem
baru tersebut (Leirissa,
1985: 31-32).
Bagi daerah-daerah jajahan
manifestasi dari perkembangan ekonomi moderen itu tampak dari dua segi pokok.
Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan dasar bagi industri
yang makin meluas itu. Bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropis.
Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri
yang makin meningkat pula. Daerah tropis yang jumlah penduduknya cukup banyak
itu dilihat sebagai suatu potensi besar dalam segi ini. Inilah yang menyebabkan
daerah-daerah tropik, terutama bekas daerah perdagangan negara-negara Barat,
mendapat arti yang baru. Inilah yang juga menimbulkan perubahan dalam tahun
1860-1870 dengan munculnya sistem Liberal di Indonesia. Hal ini antara lain
nampak dengan munculnya sistem perkebunan swasta modern di Indonesia.
Perkembangan perkebunan yang
paling menarik adalah di Sumatera Timur. Perkembangan baru di Sumatera Timur
sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) di sana.
Sebelum itu daerah Sumatera Timur memang sudah dikenal dengan tembakau yang dihasilkan
rakyat. Mutu tembakau di sana cukup baik dan Neinhuis memutuskan untuk
mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen pertama
sebanyak 186 bal yang dengan mudah dijual di Negeri Belanda. Keberhasilan
Nienhuis ini segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya. Malah Niehuis
sendiri berhasil memperluaskan usahanya.
Tetapi kelebihan produksi itu dengan sendirinya menimbulkan kesulitan.
Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan tembakau sehingga harga tembakau turun
cepat. Dalam waktu tiga tahun saja 25 perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagai
akibat tinggalah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Mereka giat
mengadakan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah
lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan
Pemilik Perkebunan Tembakau. Kemudian diadakan perbaikan-perbaikan dalam
pemasaran sehingga nama Tembakau Deli muncul lagi di dunia.
Hal menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya
peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di Sumatera
Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Pada tahun-tahun
pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan buruh Cina melalui
perantara-perantara di Penang dan Singapu-ra. Karena sistem perantara ini
ternyata kurang menguntungkan, maka Perkumpulan Pemilik Perkebunan Tembakau
Deli mencari jalan lain. Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama
Biro Imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari Cina. Biro
ini selain mengurus pemberang-katan calon-calon buruh tersebut juga
mengusahakan suatu sistem tranfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian
dapat dikirim kepada keluarga mereka di Cina. Dengan demi-kian prospek bekerja
sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan
buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh
menan-datangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu.
Sistem kontrak itu disahkan melalui undang-undang Koeli Ordinantie.
Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu
jumlah penduduk Sumatera Timur telah meningkat menjadi 1,8 juta (sebelumnya
hanya sekitar 10.000). Di antaranya 645.000 adalah berasal dari Jawa 225.000
menjadi buruh perkebunan), dan 195.000 berasal dari Cina (11.000 menjadi buruh
perkebunan). Tidak semua sistem perkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari
daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di Jawa Tengah
bagian Utara. Selain itu undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870
juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula
maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176
bahu", kemudian meningkat pada tahun 1900 menjadi 128.301 bahu. Perkebunan-perkebunan
besar lainnya yang' menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh,
kopra dan kina (Leirissa,
1985: 34).
Dampak bagi masyarakat pedesaan sementara menurut ahli sejarah Asia, ada
tiga hal yang penting. Pertama, masyarakat pedesaan yang tadhfya tertutup
(self suficient), makin dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang
menem-. bus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam
rumahtangga-rumahtangga desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan Iain-lain),
Jadi penduduk desa mulai mengenal barang-barang kebutuhan baru dan mulai
terkait pada sistem ekonomi yang lebih luas. Kedua, politik kolonial
mempengaruhi perubahan-perubahan desa. Umpamanya dengan dikeluarkannya
Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang
kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga, pertambahan penduduk yang sangat
pesat. Ini terutama disebabkan menurunnya angka kematian oleh karena perluasan
pemeliharaan kesehatan (Leirissa, 1985: 34-35).
Suatu persoalan yang menarik menurut para sejarawan tersebut adalah
kurangnya economic mobility di
kalangan masyarakat tingkat priyayi ataupun santri. Dengan munculnya
tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di Eropa,
sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Umpamanya peranan
pedagang perantara yang menyalurkan hasil-hasil perkebunan rakyat dan hasil
agraria lainnya ke kota-kota besar (untuk disalurkan ke luar negeri ataupun
untuk dipakai sendiri oleh penghuni kota) atau pun sebagai penyalur
barang-barang konsumsi baru yang mulai meluas sampai ke taraf pedesaan. Yang
mengambil ke-sempatan ini ternyata orang-orang Cina yang sudah lama sebelumnya
banyak terdapat di Indonesia dan lain-lain daerah di Asia Tenggara.
Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak
abad ke-17. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang-pedagang,
karena para pedagang dan tukang-tukang Indonesia melarikan diri atau tidak
diperkenankan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan
sendiri yang diatur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin
ini diberi berbagi pangkat seperti Kapitan Cina, Letnan Cina dan lain-lain.
Dengan timbulnya perubahan-perubahan yang pesat dalam bidang ekonomi abad ke-19
orang-orang Cina ini juga cepat sekali menyesuaikan diri. Merekalah yang
akhirnya muncul sebagai pedagang-pedagang perantara.
Menurut penelitian beberapa sejarawan kelebihan orang-orang Cina (economic
mobility mereka) disebabkan beberapa hal. Pertama, sebelum bermigrasi ke
Indonesia (dan Asia Tenggara lainnya) mereka telah me-ngenal suatu sistem
pcrdagangan yang luas jangkauan daerahnya dengan suatu sistem moncter tertentu.
Selain itu kekompakan mereka untuk bekerja secara gotong royong dalam bidang ekonomi.
Kegiatan dagang mereka selalu didasarkan pada ke-lompok-kclompok kekerabatan,
kelompok-kelompok bahasa. Oambaran mengenai
seorang santri justru berbeda;
santri sangat individual, bcrgerak sendiri-sendiri saja sehingga volume
pcrdagangannya tidak besar, dan kemungkinan-kemungkinan perluasan (atau
memasuki lapangan-lapangan baru) sangat terbatas (Leirissa, 1985:
37).
Sejumlah sejarawan juga mempersoalkan mengapa kaum priyayi tidak
mengambil kesempatan-kesempatan bagus tersebut. Alasan yang dikemukakan adalah
bahwa bagi kaum priyayi perdagangan adalah fungsi untuk golongan rendahan.
Umpamanya, mereka mempunyai hak untuk lebih dahulu mengadakan transaksi dagang dengan pedagang-pedagang yang
datang di kota-kota pelabuhan sebeelum golongan rakyat mendapat kesempatan.
Sering perdagangan barang-barang tertentu merupakan hak istimewa atau monopoli
golongan priyayi seperti umpamanya perdagangan beras di pantai utara Jawa, atau
perdagangan cengkeh di Maluku. Dengan terpancangnya sistem monopoli VOC maka
peranan ekonomi dari kaum penguasa ini pun menghilang. Di Maluku mereka hanya
bertindak sebagai penyalur cengkeh dari rakyat kepada VOC. Semua segi ekonomi
dari percengkehan ini sudah tidak ada lagi.
Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda. Para bupati dalam abad ke-18
lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar
transaksi dagang VOC berjalan dengan lancar. Dengan pihak Sultan di keraton,
VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras, kemudian kopi, dan lain-lain.
Pembatasan inilah yang merupakan landasan yang mendorong timbulnya
gerakan-gerakan Sarckat Dagang Islam di beberapa kota di Jawa dalam awal abad
ke-20.
Leirissa, R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950.
Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
thank's sharing infonya, mantap gan.
BalasHapuswww.kiostiket.com