2.1 Pengertian Ngaben
Ngaben
secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari
asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak
melalui pembakaran mayat. Ngaben alus-singgihnya
adalah melebuang atau atiwa-tiwa (Kaler, 1997 : 35). Ngaben sesungguhnya
berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam
kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah
menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga
disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi
ngaben.
Ngaben
atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa.
Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari
bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita
jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga
di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara
setelah kematian itu.
Upacara
ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di
pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas
mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang
berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan
jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam
bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon
yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan
demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu
ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun
cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat
untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon.
Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian
berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain
katanya adalah setra atau sema. Setra
artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi
Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara
pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu.
Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng”
menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah
mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p”
menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”.
Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun
yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati
melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma
sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
2.2 Landasan Filosofis
Manusia
terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia
itu terdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar.
Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan
astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah,
Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan
hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Landasan
pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau
lima keyakinan itu adalah :
1. Ketuhanan
/ Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya,
termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan
itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang
Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam
semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang
menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham
Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu
adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai
proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman
Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang
pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
- Atman
(roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia
yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes
kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali
kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan
upacara.
- Karma
: Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan
suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan
berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang
buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Oleh karena itu
manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu
membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain.
Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang
menyebabkan perlunya upacara Ngaben.
4. Samsara
: artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau
lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah
sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu
dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan
atma untuk dapat kembali ke asalnya.
5. Moksa
: artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua
manusia, dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu,
atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan
duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan
sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir
Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini
mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain
mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
2.3 Unsur-Unsur Metafisika dalam Ngaben
Berangkat
dari ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab persoalan dan menggelar
gambaran umum tentang struktur yang ada atau realitas berlaku mutlak untuk
segala jenis realitas (yang ada).
Telah ditetapkan bahwa dalam upacara
ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”.
Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang lalu
dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena itu
“proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan
prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben.
2.4 Hari Baik Atau Dewasa Ngaben
Pada
hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan refleksi dari adanya
pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam
besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia
serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh
setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna,
dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya
matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan
penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh
yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari
inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan
merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya dewasa ngaben sarat.
Bila
kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke
selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian
sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan
petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
2.5 Dasar Hukum
Ngaben
merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang lingkup
upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan
suci kepada leluhur. Pitra Yajnya terdiri dari dua kata, yakni Pitra dan dan
Yadnya, “pitra” berarti orangtua (ayah dan ibu). Pengertian yang lebih luas
bisa disebut leluhur. Sedangkan kata “yadnya” pengorbanan yang didasari hati
yang tulus ikhlas nan suci (Kaler, 1997 : 3). Kita ada karena ibu dan Bapak.
Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas
jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra
Yajna. Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan
melaksanakan pitra yajna. Jadi Pitra Yajna merupakan suatu pembayaran hutang
kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Veda
juga menjadi dasar hukum ngaben atau bakar mayat. Karena Veda merupakan sumber
ajaran agama Hindu tertua. Ada empat kitab Veda yaitu: Rg Veda. Sama Veda,
Yajur Veda, dan Atharva Veda. Isinya ialah nyanyian-nyanyian pujaan kepada
dewa-dewa. Di dalamnya terdapat renungan tentang Tuhan, alam semesta, dan kehidupan
(Sura, dkk, 1994 : 9).
2.6 Jenis-Jenis Ngaben
2.6.1
Ngaben Sederhana
1. Mendhem
Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat.
Ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, namun
perlu diingat bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben.
Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah)
itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra
(Dewi Durga).
2. Ngaben
Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra
artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk
menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa,
karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama
Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara. Untuk membedakan dengan jenis ngaben
sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah
nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana
pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin
atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan
sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya
dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku
ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal.
4. Pranawa
Bhuanakosa
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa
Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru
meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai
jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
5. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang.
Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng
hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra,
dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.
2.6.2
Ngaben Sarat
Ngaben
Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat
dengan perlengkapan upacara upakaranya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap
sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat
terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat
terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka
maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana
penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam
kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena
itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
Jenis-jenis
Ngaben Sarat:
Jenis-jenis
Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa
Prateka dan Sawa Wedhana.
1. Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru
meninggal disebut Sawa Prateka.
Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal
belum sempat diberikan upacara penguburan.
2. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah
dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben
yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug).
2.7 Cara Ngaben
Selain
pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana maupun
ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :
1.
Ngaben Langsung
Ngaben Langsung
Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu meninggal. Ini
biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan
ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu
yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan
hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya
mayat dari orang yang meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan
cara pembekuan, atau dengan zat kimia lainnya.
2. Ngaben Massal (ngerit)
Seperti namanya, ngaben masal dilakukan
secara bersama-sama dengan banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya
mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun
sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat
yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya,
sangat bisa diminimalkan.
DAFTAR
RUJUKAN
Kaler,
I. 1997. Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar.
Denpasar: Yayasan
Dharma Naradha.
Sura,
I, dkk. 1994. Agama Hindu Sebuah
Pengantar. Denpasar: C.V.
Kayumas Agung.
Online.
http://info.indotoplist.com/ diakses pada tanggal 16 September
2012.
Online.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ngaben diakses pada tanggal 16
September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar