Jumat, 07 Maret 2014

TERJADINYA PERANG KOREA (1950—1953) DAN HUBUNGAN KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN HINGGA 2013

Latar Belakang Perang Korea
Setelah berakhirnya Perang Dunia II muncul persaingan-persaingan baru antara Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet) yang lebih dikenal dengan sebutan “Perang Dingin”. Adapun negara-negara yang telah menjadi korban akibat dari Perang Dingin diantaranya:
1.    Vietnam, yang terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan
2.    Jerman, terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur
3.    Korea, terpecah menjadi Korea Selatan dan Korea Utara
            Dalam perjanjian Yalta pada tahun 1945 disebutkan bahwa, Uni Soviet akan mengumumkan perang kepada Jepang setelah Perang di Eropa selesai. Dimana pasukan Uni Soviet akan menyerang Jepang melalui Semenanjung Korea. Pada tanggal 8 Agustus 1945, Uni Soviet melancarkan serangannya terhadap pasukan Jepang lewat Semenanjung Korea hingga mencapai garis batas 38º LU. Selama enam hari peperangan Uni Soviet keluar sebagai pemenang, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1945 pasukan Jepang menyerah kepada sekutu dengan ketentuan pasukan Jepang yang berada disebelah Utara garis 38º LU menyerah kepada Uni Soviet, sedangkan pasukan Jepang yang berada disebelah Selatan garis 38º LS menyerah kepada Amerika Serikat. Hal inilah yang menjadi dasar pembagian Korea, sehingga garis batas 38º Lintang Utara (LU), menjadi garis batas demarkasi antara Korea Utara dan Korea selatan.
Sebab-sebab Umum
a.    Adanya persaingan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
            Salah satu dampak Perang Dunia II adalah adanya Perang Dingin, yakni pertentangan antara Blok Barat dibawah komandan Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet. Pihak Korea Selatan yang berada dibawah pengaruh Amerika Serikat mengembangkan paham liberal-kapitalis, sedangkan Korea Utara dibawah pengaruh Uni Soviet mengembangkan paham sosialis-komunis.
b.    Pembagian wilayah korea menjadi dua bagian
            Setelah Perang Dunia II berakhir, Korea menjadi daerah yang dipersengketakan. Dimana beberapa hari sebelum Jepang menyerah pada tanggal 10 Agustus 1945, Amerika Serikat dan Uni Soviet akan menerima tawanan-tawanan perang Jepang yang berada didaerah Korea. Keputusan ini didasarkan pada Perjanjian Potsdam 1945, yaitu membagi Korea menjadi dua bagian dengan batas wilayah 38º Lintang Utara, menyerah kepada Amerika Seikat dibawah pimpinan Letnal Jenderal  John R. Hogde. Sedangkan pasukan Jepang yang berada disebelah Utara garis 38º Lintang Utara, menyerah kepada Uni Soviet dibawah pimpinan kolonel Jenderal Ivan M. Christyalov.
            Pihak Amerika Serikat dan Uni Soviet sebenarnya tidak menjadikan garis tersebut sebagai garis demarkasi antara Korea Utara dan Korea Selatan, melainkan garis tersebut hanya merupakan batas wilayah untuk menerima tawanan-tawanan Jepang pasca Perang Pasifik. Namun, pada akhirnya garis tersebut berubah fungsi menjadi garis demarkasi antara pertahanan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dengan demikian, pembagian wilayah Korea enjadi dua bagian ini menjadi suatu garis pertikaian antara dua kekuatan. Dilain pihak, secara tidak langsung hal ini mengahalangi cita-cita bangsa Korea untuk menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu.
c.    Tidak adanya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tentang pembentukan Korea Utara.
            Pada bulan Desember 1945 diadakan konferensi para menteri luar negeri di Moskow, konferensi ini diadakan sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Potsdam. Dalam konferensi tersebut memperoleh atau menghasilkan kesepakatan antara Amerka Serikat, Uni Soviet dan Inggris yang menyatakan akan membentuk pemerintahan Korea yang demokratis. Pemerintahan ini merupakan pemerintahan perwakilan Internasional yang akan berlangsung selama lima tahun, dimana dalam pemerintahan perwakilan tersebut pasukan-pasukan Amerika Serikat maupun Uni Soviet ikut serta didalamnya (joint Commission).
            Pelaksanaan pemerintahan perwakilan Internasional ternyata tidak dapat diwujudkan, karena tidak adanya kesepakatan antara amerika serikat dan uni soviet. Masalah korea kemudian dibawa ke sidang sidang umum PBB. Pada tanggal 14 November 1947, sidang umum PBB memutuskan untuk membentuk komisi yang disebut “United Nations Temporary Commission on Korea” (komisi Sementara PBB untuk Korea). Dari hasil sidang tersebut menyarankan agar selambat-lambatnya pada tanggal 13 Maret 1948, di Korea diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat Korea. Tugas dari komisi Sementara PBB untuk korea antara lain:
1)   Mengadakan pengawasan keberlangsungan pemilihan umum
2)   Mengadakan pembicaraan dengan para wakil rakyat hasil pemilihan umum untuk merundingkan umum untuk merundingkan masalah kemerdekaan Korea.
            Kemudian setelah wakil Korea terpilih, maka PBB kemudian mengajukan rencana antara lain:
1)   Membentuk dewan Nasional
2)   Mendirikan pemerintahan Korea yang merdeka.
            Sesudah pemerintahan Korea terbentuk maka tentara pendudukan akan ditarik mundur. Korea selatan dan Amerika Serikat dapat menjalankan rencana tersebut, sebab rencana itu pada dasarnya merupakan siasat dari Amerika Serikat sendiri yang mendominasi dalam PBB. Akan tetapi, Uni Soviet menolak hal tersebut dan mengusulkan, bahwa tentara pendudukan akan ditarik mundur terlebih dahulu, dan baru kemudian mendirikan pemerintahan Korea merdeka. Dengan demikian, korea menjadi ajang pencaturan politik dan militer antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selanjutnya masing-masing pihak akhirnyamembentuk pemerintahan baru di Korea, yaitu:
1)   Pada tanggal 15 Agustus 1948 Amerika Serikat membentuk Republik Korea (Korea Selatan) beribu kota di Seoul, dengan Syngman Rhee sebagai Presiden pertama.
2)   Pada tanggal 9 September 1948 Uni Soviet membentuk Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) beribu kota di Pyongyang, dengan Kim II sung sebagai Presiden pertamanya (Agung Leo S, 2012:134)
Sebab-sebab Khusus
Pada bulan desember 1948, sidang umum PBB mengesahkan laporan tentang hasil-hasil pemilihan di Korea Selatan. Sidang menyatakan bahwa pemerintahan Korea Selatan adalah satu-satunya pemerintahan yang sah. Selain itu juga diputuskan terbentuknya komisi baru Korea yakni Commission on Korea (Komisi tentang Korea), tugas dari komisi ini antara lain:
1)   Mengambil alih komisi sementara PBB di Korea
2)   Mencoba mengadakan penyatuan Korea
3)   Mengadakan penyelidikan penarikan pasukan pendudukan di Korea.
Dengan adanya keputusan tersebut, Korea Utara semakin membenci Korea Selatan dan Amerika Serikat. Korea Utara merasa hak-haknya tidak diakui PBB. Dengan demikian, Uni Soviet terus mendukung Korea Utara untuk mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan wilayah Korea seluruhnya dengan jalan kekerasan atau peperangan (Agung, 2012: 135).

Jalannya Perang Korea
Perang Korea dari tanggal 25 Juni 1950—27 Juli 1953, adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut “Perang yang dimandatkan” (bahsa Inggris proxy war) antara Amerika Serikat dan sekutu PBB-nya dan komunis Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet (juga anggota PBB) (Hendarsah, 2007: 96) dan (Iqbal, 2010: 81).
Berbagai cara telah diupayakan oleh Korea Utara hingga akhirnya mengambil keputusan dengan cara kekerasan atau peperangan. Pengumuman perang disiarkan ke sluruh kota melalui radio Pyongyang. Pada  hari minggu pukul 4, 25 Juni 1950, Korea Utara menyerang Korea Selatan (Montefiore, 2011: 751). Serangan tersebut sangat mengejutkan Korea Selatan sehingga terlihat Korea Utaralah yang memenangkannya. Serangan ditujukan ke Ibukota Seoul, namun karena cuaca buruk, yang berhasil diduduki hanya Kota Chuchon, Ongjin dan Kaesong yang merupakan kota penting di Korea Selatan.
Kota Seoul baru dapat diduduki oleh pasukan Korea Utara setelah tiga hari perang berlangsung yaitu pada tanggal 28 Juni 1950 (lihat gambar 2.1). Dengan direbutnya Seoul, berarti pihak Utara telah berhasil menguasai 50-80 mil2  wilayah teritorial Korea Selatan, 12 kota dan 5 ribu desa dalam jangka waktu empat hati (Agung, 2012: 135). Karena hal tersebut, Presiden Syngnam Rhee beserta staf pemerintahannya meninggalkan Seoul dan memindah pemerintahan ke Taejon.
Perang Korea tidak hanya sebatas perang antara Korea Utara dan Korea Selatan. Namun, dibelakang negara tersebut ada sekutu masing-masing yang membantu jalannya Perang. Amerika Serikat mengetahui jika di belakang Korea Utara ada Uni Soviet, sehingga AS memutuskan untuk membantu Korea Selatan. Dengan posisi Amerika dalam Dewan Keamanan PBB, Amerika mengusulkan kepada DK PBB untuk bersidang membicarakan Korea. PBB mengadakan sidang dan menghasilkan resolusi PBB yang antara lain berisi sebagai berikut.
1)   Mendesak Korea Utara agar segera menghentikan perang dan menarik mundur pasukan-pasukannya sampai garis batas 38° Lintang Utara.
2)   Memberikan sanksi kepada Korea Utara apabila pihak Korea Utara tidak memperdulikan desakan tersebut, maka PBB dengan para anggotanya akan membantu Korea Selatan.
Pada 27 Juni, Presiden Truman memerintahkan kepada Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat untuk memberi perlindungan kepada pasukan Korea Selatan. Amerika Serikat berkosentrasi di Semenanjung Jepang Pulau Jepang. Strategi militer yang dilakukan oleh Presiden Truman membuat bendungan dengan pasukan-pasukan yang cukup kuat. Presiden Truman mengerahkan pasukan-pasukan Amerika Serikat yang berada di Timur Jauh yaitu di Jepang, di bawah komando Douglas MacArthur diperintahkan untuk mengadakan blokade di seluruh pantai Korea. Pemerintah Cina di Taiwan diminta menghentikan operasinya di daratan Cina, serta bantuan-bantuan militer kepada pemerintah Filipina dan Angkatan Perang Perancis di Indocina ditingkatkan.
Menurut Agung (2012: 137), menyatakan bahwa hingga bulan Agustus 1950, pihak Korea masih tetap unggul, karena hal berikut.
1)   Korea Utara dan Uni Soviet mampu membuat rakyat Korea Selatan bersimpati.
2)   Logistik pihak Korea Utara terpencar, sehingga sulit dihancurkan dan lebih lama dapat bertahan.
3)   Pihak Korea Utara mengadakan penyusupan dan penyamaran yang sangat rapi untuk melemahkan pihak Selatan.

Gambar 2.1 Ekspansi Korea Utara ke Korea Selatan Juni-Agustus 1950
Selama tiga bulan (Juni, Juli, Agustus) pihak Selatan mengalami kekalahan, maka untuk menghindari agar Semenanjung Korea tidak jatuh ke pihak Utara, pihak Selatan membuat strategi baru yang disebut “Pertahanan PBB”. Pertahanan tersebut dipusatkan di Pusan, dan dikenal dengan nama “Pusat Parameter”. Daerah penting lain selain Pusan adalah Taegu.
 Mulai september 1950, keunggulan menjadi milik Korea Selatan dengan berhasil direbutnya Seoul pada 26 September 1950 di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Keberhasilan tersebut menjadi dorongan moral bagi pihak Selatan sehingga dapat melampaui garis batas 38° Lintang Utara. Kekalahan pihak Utara tersebut juga merupakan kekalahan Uni Soviet dan membuat RRC yang merupakan sekutu Uni Soviet membantu pihak Utara sebagai tetangga baiknya dari serangan imperialis. Setelah memukul balik tentara Korea Utara dari garis lintang 38 derajat, tentara koalisi Amerika di bawah payung PBB mendekati Sungai Yalu yang berbatasan dengan Tiongkok. Mac Arthur menjanjikan kepada pasukan koalisi untuk merayakan Natal dengan keluarga masing-masing karena perang akan berakhir dan Korea akan bersatu dan demokratis (Widyatmadja, 2005: 169).
Namun, bukan Natal yang mereka rayakan, tetapi usungan peti jenazah mendatangi keluarga tentara Amerika karena Korea Utara kembali melakukan perlawanan. Dengan bantuan RRC, Korea Utara kembali meraih kemenangan. RRC punya persiapan yang matang karena telah terlebih dahulu mempelajari peta perang korea sehingga dapat mengusir pasukan PBB dari Pyongyang untuk kembali ke Selatan. Karena perang Korea juga merupakan perang antara Amerika dan Uni Soviet, maka Amerika pun tidak tinggal diam dengan ikut campurnya RRC. Sehingga menurut Suko dalam Agung (2012: 139) menyatakan bahwa Jenderal MacArthur memberikan wewenang kepada Jenderal Matthew B.Ridgway untuk melancarkan operasi-operasi di Korea.
Jenderal Mattew juga diserahi menggunakan personel tentara VIII dan Korps X yang berarti meliputi kekuatan darat PBB seluruhnya. Pasukan PBB terdiri dari 15 negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Swedia, Thailand, Belanda, Belgia, Kanada, Turki, Yunani, Afrika Selatan, India dan Filiphina. Situasi perang yang tidak memungkinkan mendorong diadakannya perundingan dan gencatan senjata. Perang Korea pada akhirnya membunuh 1 juta warga Korea, seperempat warga Cina, dan tiga puluh empat ribu warga Amerika (Chang, 2009: 220). Menurut Iqbal (2010: 85) bahwa Amerika kehilangan 36.914 tentaranya, sementara Korea Selatan 415.005. Korea Utara menurut Departemen Pertahanan AS, kehilangan 2 juta serdadunya. Ini adalah jumlah yang sangat besar untuk perang tiga tahun.

Upaya Penyelesaian Perang Korea
Terjadi perang Korea (1950 - 1953) sebab Korea Utara menyerbu Korea Selatan dibantu US dan RRC. PBB membentuk pasukan Internasional dan berhasil mengusir perang kembali ke perbatasan 38o LU (Soepratignyo : 1999, 51). Maka selanjutnya diadakan sesbuah perundungan untuk mencegah meluasnya perang. Pada 23 Juni 1951 Jacob Malik selaku wakil tetap Uni Soviet di PBB, menyatakan bahwa bersedia mengadakan perundingan serta akan segera mengirimkan wakil – wakilnya :
a)    Perundingan Kaesong (10 Juni – 22 Agustus 1951)
Perundingan di Kaesong disetujui oleh pihak Korea utara maupun Korea selatan karena disebabkan oleh kedua belah pihak memiliki masing – masing pendapat mengapa tempat Kaesong disetujui sebagai tempat perundingan :
1.    Pihak Korea Utara mempertimbangkan bahwa Kaesong terletak 20 mil di dalam garis pertahanan mereka
2.    Bagi pihak Korea Selatan dapat menimbulkan kesan bahwa mereka bersedia melaksanakan perundingan.
Perundingan di Kaesong merupakan strategi bagi RRC untuk menghambat gerakan PBB di Kaesong. Kaesong merupakan wilayah yang strategis dalam menentukan kemenangan melalui garis Lintang 38o, namun perundingan yang berlangsung selama tiga bulan ini mengalami kegagalan, disebabkan kedua belah pihak tidak dapat saling menghormati satu sama lain bahkan saling menuduh satu sama lainnya. Kegagalan ini disebabkan tidak adanya kesepakatan tentang garis demokrasi.
b)   Perundingan di Panmunyom (25 Oktober – 27 Juni 1953)
Perundingan ini merupakan perungingan yang bersambung pada perundingan di Kaesong. Dalam perundingan ini masalah garis demokrasi dibahas dan menjadi hangat. Pihak utara mengusulkan garis demokrasi selebar 2 mil, selanjutnya daerah ini dijadikan daerah bebas militer. Tentu saja dengan persetujuan pihak Korea Selatan. Artinya permasalahan pada perundingan sebelumnya yaitu perundingan Kaesong sudah teratasu dan terselesaikan. Perundingan selanjutnya adalah perundingan genjatan senjata.
c)    Gencatan senjata
Pada tanggal 27 Juli 1953 diberlakukan genjatan senjata. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, garis demakrasi militer yang memisahkan kedua belah pihak yang telah ditentukan yaitu memanjang dari muara sungai Han. Dengan demikian, perang Korea berakhir untuk sementara (sejak 1953 sampai sekarang) dalam situasi perang tanpa letusan senjata. Dan keadaan kedua Negara dipecah menjadi dua yaitu Korea selatan dan Korea utara dengan terpisahkan garis LU 38o.
Perang Korea yang berlangsung hingga 27 Juli 1953 memakan korban hampir tiga juta orang tewas. Pada tanggal 8 Agustus 1953, pakta pertahanan bersama antara Korea Selatan dan AS ditandatangani di Seoul oleh John Foster Dolies (Menlu AS) dan Syngman Rhee (Presiden Republik Korea Selatan). Perjanjian ini memberikan perlindungan atas Korea Selatan oleh AS apabila ada serangan dari luar (Songo, --:--)

Dampak dari Perang Korea Terhadap Kedua Negara dan Dunia
Perang Korea ternyata menimbulkan dampak yang cukup luas di dunia internasional. Hal ini dikarenakan oleh berbagai sebab, antara lain:
1.    Korea bekas daerah jajahan Jepang. Jepang merupakan negara fasis terbesar di Asia yang menjadi kekuatan super dan mampu menjadi saingan bagi negara-negara imperialis Barat, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet Jepang yang berhasil menganeksasi Korea sejak 1910 menjadi sorotan dunia, karena Jepang dikategorikan penjahat perang setelah Jerman. Kekuata Jepang di Korea merupakan suatu hal penting yang perlu diperhitungkan oleh negara-negara besar di dunia.
2.    Pasca perang dunia II yang ditandai dengan kekalahan Jepang, Korea telah jatuh ke tangan Amerika Serikat, Uni Soviet dan RRC. Ketiga negara tersebut adalah negara kuat yang mempunyai pengaruh dan peranan yang cukup besar di dunia, karena negara-negara di dunia pada saat itu mempunyai ketergantungan pada mereka, khususnya kekuatan militer.
3.    Keikutsertaan PBB, telah melibatkan anggotanya untuk menyelesaikan masalah Korea. Ini berarti, Perang Korea telah pula menyeret negara-negara di dunia. Dengan demikian, Perang Korea juga membawa dampak bagi dunia internasional (Agung, 2012: 142).
Dampak Perang Korea bagi dunia internasional, antara lain sebagai berikut:
1.    Muncunya dua Negara adidaya, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet
Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah Negara besar yang rnendominasi dunia pasca Perang Dunia II. Dengan kedudukannya di Korea telah mendapatkan tempat yang strategis di Asia dalam upaya mencari dukungan di Asia dalam perluasan pengaruhnya.
2.    Munculnya RRC sebagai kekuatan baru
Dalam perkembangan intnternasiona sedang mengalami polarisasi kekuatan Barat di bawah komando Amerika Serikat dan kekuatan Timur di bawah pimpinan Uni Soviet, ternyata lebih cenderung untuk menggabungkan diri pada kekuatan Timur. Dalam Perang Korea dengan jelas RRC menyokong Korea Utara dan mengakibatkan perubahan fundamental politik di kawasan Asia Pasifik.
Perang Korea telah menunjukkan kekuatan RRC yang dapat menyaingi kekuatan militer Amerika Serikat. Apabila Uni Soviet tidak mendapat bantuan militer dari RRC, Uni Soviet akan mengalami kekalahan. Dengan adanya partner politik RRC-Uni Soviet sejak Perang Korea, menambah kokohnya pertahanan komunis khususnya di Asia. Sebaliknya, dekatnya hubungan Uni Soviet dan RRC, mengakibatkan putusnya hubungan diplomatik Amerika Serikat-RRC.
RRC muncul sebagai kekuatan baru di Asia, menggantikan kedudukan Jepang yang telah hancur. Didukung oleh jumlah penduduk yang besar, perkembangan industri dan pertanian; RRC berhasil mengembangkan militernya. Keunggulannya dibanding dengan Negara-negara lain di kawasan Asia dan peranannya yang besar dalam Perang Korea, inilah yang mengubah RRC menjadi kekuatan baru di Asia.
Melihat partnership RRC-Uni Soviet, Presiden Truman memutuskan untuk menerapkan politik pembendungan komunis. Selain itu, Amerika Serikat mengadakan perubahan secara fundamental terhadap Jepang yang dapat digunakan Sebagai benteng utamanya di Asia. Bahkan Jepang diizinkan untuk membentuk pasukan bela diri, dimaksudkan agar dapat menangkal meluasnya pengaruh komunis.
Perkembangan komunis di Asia terutama ditujukan pada RRC bukannya Uni Soviet, karera RRC adalah negara yang berada di kawasan Asia, sehingga lebih banyak memahami seluk-beluk Negara-negara di sekitarnya. Dengan demkian, posisi RRC di Asia lebih berbahaya dibandingkan Uni Soviet di Eropa.
3.    Munculnya pertahanan bersama
Untuk menjaga keamanan dan pertahanan seteteh Perang Korea, dan untuk membendung perkembangan komunis secara intensif, menyadarkan negara-negara di dunia membentuk pertahanan bersama dengan kepentingan yang berbeda. Secara kongkret pertahanan bersama yang muncul setelah Parang Korea adalah South East Asia Treaty Organization (SEATO) yang didirikan pada 1954 dengan anggota Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru, Filipina, Thailand, Pakistan dan Korea Selatan. Pertahanan bersama ini merupakan satah satu upaya pembendungan komunisme di Asia .
Dari uraian di atas, ternyata Perang Korea baik langsung maupun tidak langsung telah membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah menyadarkan seluruh negara di kawasan Asia-Afrika untuk mewujudkan menjadi suatu negara yang merdeka lepas dari campur tangan asing. Sedangkan dampak negatifnya, Perang Korea telah memecah bangsa menjadi dua negara yang berbeda dengan paham yang berbeda pula. Di samping itu, Perang Korea telah memperuncing persaingan  antara Blok Barat dan Blok Timur (Agung, 2012: 142-144).
Secara signifikan, dampak adanya Perang Korea ini dapat dibagi ke dalam 3 bagian, yaitu:
1.    Dampak Ekonomi kedua belah pihak (Utara dan Selatan)
Perang antar kedua pihak ini mengakibatkan hancurnya infrastruktur dan ekonomi negara. Pada tahun 1970 ekonomi kedua belah pihak sempat seimbang, namun orientasi ekonomi Korea Utara lebih memprioritaskan pada kepentingan militer dibanding dengan kebutuhan rakyatnya sendiri. Korea Utara seringkali mengalami kekurangan makanan dan menyebabkan tingginya tingkat kematian penduduk akibat kelaparan. Korea Utara seringkali meminta bantuan dari luar negeri, tak terkecuali dari pihak Korea Selatan.
Berbeda halnya dengan Korea Selatan, mereka lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dengan liberalisasi pasar dan perdagangan, sehingga perindustrian dan kemajuan ekonomi Korea Selatan maju dengan pesat dan menjadi salah satu Macan Asia.
2.    Dampak Politik
Korea Selatan mengadopsi sistem politik yang demokratis, berbeda dengan sistem politik di Korea Utara yang komunis-sentralistik. Dengan sistem demokrasi, maka pihak militer meninggalkan perannya dari arena politik, sedangkan pihak Korea Utara lebih menekankan nilai hierarki struktur keluarga sebagai pemimpin berikutnya.
3.    Dampak Militer dan Keamanan
Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas sebelumnya, Korea Utara lebih menekankan ekonomi dalam upayanya meningkatkan kapasitas militer dan nuklirnya. Dengan adanya sikap dan pengaruh dari kepemilikan senjata nuklir ini, maka secara tidak langsung menyebabkan instabilitas kawasan Asia Pasifik, terlebih dengan beberapa percobaan peluncuran nuklir Korea Utara yang menurut data intelijen mampu menjangkau sebagian wilayah Amerika Serikat.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Perang Korea pada 25 Juni 1950-27 Juli 1953 ini adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perang ini juga disebut dengan "perang yang dimandatkan" antara Amerika- Serikat dan sekutu PBB-nya dan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet (juga anggota PBB). Perang ini dapat dikatakan sebagai Perang saudara, meskipun banyak pihak yang terlibat secara tidak langsung di dalamnya. Korea Utara, yang berbasis komunis, berusaha untuk menyatukan semenanjung Korea ke dalam satu pemerintahan tunggal, yang telah terpisah semenjak 1948. Korea Utara didukung oleh Uni Soviet, sementara Korea Selatan didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya (Kanada, Australia, dan Britania Raya), meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB.
Upaya-upaya rakyat Korea untuk mendirikan pemerintahan independen tidak terlaksana karena pasukan Amerika serikat menduduki bagian selatan Semenanjung Korea, sedangkan pasukan Uni soviet menguasai bagian Utara. Pada bulan november 1947, Majelis Umum perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menyepakati sebuah revolusi yang meminta diadakannya pemilihan umum di Korea di bawah pengawasan sebuah komisi PBB. Akan tetapi Uni soviet menolak untuk mematuhi revolusi tersebut dan menolak masuknya komisi PBB ke bagian paruh utara Korea. Majelis umum PBB kemudian membuat resolusi lain yang menunutut diadakannya pemilihan umum di wilayah-wilayah yang bisa dimasuki oleh Komisi PBB. Pemilihan umum pertama dilaksanakan pada tanggal 10 mei 1948, di wilayah-wilayah di sebelah garis lintang 38’. Hasil dari Pemilu ini ialah Syng Man Rhee dipilih menjadi Presiden pertama Korea Utara. Sementara itu disebelah utara garis lintang 38’ Kim il Sung dipiliah menjadi Presiden Korea Utara. Garis 38’ inilah yang mambagi semenanjung Korea menjadi Korea Selatan dan Korea Utara. (Jaro, 2008: 60). Kemudian Korea Selatan membentuk negara Republik Korea Selatan. Sementara Korea Utara membentuk pemerintahan komunis Korea Utara. Perang Korea sendiri merupakan konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang berlangsung mulai tanggal 25 juni 1950 sampai 27 juli 1953. Perang Korea (1950-1953) terjadi karena Korea Utara menyerbu Korea Selatan dibantu US dan RRC (Soepratignyo, 1999: 51).
Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun demikian, ketegangan di semenanjung Korea masih terus membekas. Kerugian besar diderita kedua belah pihak ketika perang dihentikan, 27 Juli 1953. Amerika kehilangan 36.914 tentaranya, sementara Korea Selatan 415.005. Korea Utara menurut Departemen Pertahanan AS, kehilangan 2 juta serdadunya jumlah yang sangat besar untuk perang tiga tahun.

Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan Hingga 2013
Konflik di semenanjung Korea berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut ( Hendarsah, 2007: 100). Namun secara resmi, perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini. Pihak Selatan selalu curiga terhadap mereka di utara paralel 38°. Dan pihak Utara selalu menatap ke selatan dan berkeinginan menyatukan rakyat Korea untuk menghadapi bersama musuh besar dari luar.
Setelah 1953, Korea Utara dan Korea Selatan dalam keadaan gencatan senjata. Pada tahun-tahun setelahnya, bukan berarti tidak ada masalah, namun masih banyak konflik-konflik kecil antar kedua belah pihak. Pada tahun 1994, Kim Jong-Il menggantikan ayahnya, Kim Il-Sung sebagai pemimpin baru Korea Utara. Pada tahun yang sama, Korea Utara setuju menghentikan program nuklirnya dan memulai beberapa hubungan kerja sama dengan Amerika Serikat. Ketika Presiden Korea Selatan, Kim Dae Jung, mulai berkuasa pada tahun 1998 ia mengumumkan “Sunshine Policy” atau kebijakan sinar matahari, yaitu sebuah kebijakan yang bertujuan meningkatkan interaksi antara kedua negara.
Pelunakan hubungan kedua negara terlihat pada tanggal 13—15 Juni tahun 2000, ketika pertemuan tingkat tinggi antar Korea diadakan untuk pertama kalinya. “Sunshine Policy” mendapatkan ujian pertama pada bulan Oktober 2002 ketika AS mengumumkan Korea Utara telah memulai program rahasia senjata nuklir. Hal tersebut menyulut ketegangan antara AS dan Korea Selatan denga Korea Utara.
Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun, dalam pidatonya tanggal 25 Februari 2003 berjanji akan membangun Korea Seatan menjadi “ pusat Asia Timur Laut” untuk meningkatkan hubungan antar Korea dan memimpin Korea Selatan menuju era perdamaian dan kemakmuran (Tanpa nama (Online), 2013). Pada tanggal 2—4 Oktober 2007 di Pyongyang, kembali diadakan pertemuan tingkat tinggi antar Korea. Kedua kepala negara mendiskusikan tentang kemajuan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, perdamaian di Semenanjung Korea dan kesejahteraan rakyat Korea dan penyatuan Korea.
Pada 26 Maret 2010, Kapal Korea Selatan tenggelam, Korsel menaruh curiga pada Korut hingga hubungan kedua negara memanas. Korea Utara menyatakan akan memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Korea Selatan. Hal itu dilakukan oleh Korea Utara sebagai tindakan balasan atas sanksi yang diberikan terkait dengan tenggelamnya kapal angkatan laut Korea Selatan (Pemita (Online), 2010). Selain itu Korea Utara juga akan menutup semua kantor kerjasama Korea Utara-Selatan di pusat industrri, di kota perbatasan Kaesong. Langkah yang selanjutanya akan diambil oleh Korea Utara adalah mendeportasi semua warga Korea Selatan yang sedang bekerja di Korea Utara. Lebih jauh lagi, Korea Utara juga melarang kapal dan pesawat Korea Selatan melintasi perairan daerah teritori Korea Utara.
Menyusul ketegangan yang terus terjadi antara dua negara karena Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir, dan peluncuran artileri dari Korea Utara yang menyebabkan kematian dua warga sipil dan dua anggota militer Korea Selatan, pada November 2010, Kementrian Penyatuan Korea Selatan secara resmi menyatakan bahwa ‘Sunshine Policy’ gagal, dan membawa kepada berakhirnya kebijakan tersebut. Tanggal 1 Januari 2013, Kim Jong-Un (menggantikan ayahnya yang meninggal, Kim Jong-Il) menyampaikan pesan tahun baru melalui  siaran televisi, menyerukan untuk membina hubungan lebih baik dengan Korea Selatan. Tapi pada bulan Februari 2013, Korea Utara melakukan uji coba nuklir ke-3, yang dikatakan dua kali lebih besar dibandingkan uji coba pada tahun 2009.
Pada tahun 2013, hubungan Korea Utara dan Korea Selatan kembali memanas karena Kim Jong-Un memulai konflik dengan memprovokasi negara tetangga tersebut. Provokasi yang dilakukan merupakan serangan altileri ke Korea Selatan yang pada akhirnya membuat suasana di kawasan tersebut kembali tegang secara mendadak. Artileri Korea Utara pun berhasil melumpuhkan sumber tenaga listrik di Pulau Yeonpyeong serta dua warga dilaporkan terluka. Pihak militer Korea Selatan langsung menyatakan status siaga tinggi. Pemerintah Korea Selatan langsung menggelar rapat mendadak. Mereka mengatakan akan mengambil tindakan tegas jika Korea Utara melanjutkan provokasi. Di sisi lain, Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, menyerukan upaya untuk meredam aksi saling tembak. Militer Korea Selatan mengumumkan satu tentara tewas, 13 luka-luka termasuk tiga orang luka berat.

Kesimpulan
Perang Korea disebabkan oleh adanya persaingan ideologi antara AS dan Uni Soviet, pembagian wilayah menjadi dua bagian, dan tidak adanya kesepakatan antara AS dan Uni Soviet tentang pembentukan Korea Utara. Sebab khususnya adalah adanya yang mengesahkan laporan pemilihan di Korea Selatan. Korea Utara merasa hak-haknya tidak diakui PBB. Perang Korea berlangsung antara tanggal 25 Juni 1950—27 Juli 1953. Perang tersebut bukan sekedar perang antara Korea Utara dan Korea Selatan. Tetapi di balik Korea Utara ada Uni Soviet dan RRC, sedangkan di balik Korea Selatan ada Amerika Serikat dan sekutu-sekutu PBB-nya. Korea Utara sempat menguasai Seoul dan wilayah-wilayah Korea Selatan, namun Korea Selatan sempat bangkit dan unggul. Pada akhirnya Korea Utara berhasil memukul mundur pasukan PBB ke Selatan. Namun pada perang ini tidak ada pihak yang menang atau kalah, kedua negara sama-sama mengalami kerugian dan menewaskan banyak korban.
Perundingan-perundingan dilaksanakan sepanjang Perang Korea, namun tidak berhasil meredam konflik tersebut. Hingga pada Juli 1953 terjadi kesepakatan gencatan senjata. Namun konflik sebenarnya belum berakhir hingga saat ini. Hubungan kedua negara tetap memanas dipicu provokasi dari pihak Utara.


DAFTAR RUJUKAN
Agung, L. 2012. Sejarah Asia Timur 2. Yogyakarta: Ombak.
Chang, I. Tanpa Tahun. The Rape of Nanking: Holocaust yang Terlupakan dari Sejarah Perang Dunia Kedua. Terjemahan Fabiola Reza Wijayani. 2009. Yogyakarta: NARASI.
Hendarsah, A. 2007. 11 Macan Asia Musuh Amerika. Yogyakarta: Galangpress.
Hyu, J. 2008. Fakta-fakta Tentang Korea. Seoul: Pelayan Kebudayaan dan Informasi Korea.
Iqbal. A. 2010. Perang-perang Paling Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.
Montefiore, S. S. 2003. Stalin: Kisah-kisah yang Tak Terungkap (A. Fathoni, Ed).Terjemahan Yanto Musthofa dan Ida Rosdalina. 2011. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Pemita, D. 2010. Korea Utara Putuskan Hubungan dengan Korea Selatan. (http://news.liputan6.com/read/278767/Korea-utara-putuskan-hubungan-dengan-Korea-selatan 26/09/13), diakses 29 September 2013.
Soepratignyo. 1999. Sejarah Singkat Asia Timur. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Songo. E. Tanpa Tahun. Buku Genius Senior. Jakarta: Wahyu Media.
Tanpa nama. 2013. Sejarah di balik ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan: kilas balik, (Online), (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-04-05/sejarah-di-balik-ketegangan-Korea-utara-dan-Korea-selatan-kilas-balik/1112046), diakses tanggal 29 September 2013.
Tanpa nama. 2013. Ekspansi Korea Utara ke Korea Selatan, (Online), (http://dwikisetiyawan.wordpress.com/tag/saemaul-undong/), diakses tanggal 30 September 2013.
Widyatmadja, J.P. 2005. Kebangsaan dan Globalisasi dalam Diplomasi. Yogyakarta: Kanisius.


Senin, 29 April 2013

SISTEM BIROKRASI dan EKONOMI KOLONIAL PADA MASA TANAM PAKSA



Birokrasi

   Masyarakat Kolonial awal abad ke-20 terdiri dari berbagai golongan yang oleh seorang ahli ilmu sosial dikatakan dapat dibedakan menurut garis warna kulit. Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan masyarakat itu, adalah orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaannya berpusat pada seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya yang membawahi berbagai departemen. Kemudian. para gubernur di daerah-daerah yang dikuasai Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan kedinasan. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elite birokrasi kolonial yang dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Pusat-pusat birokrasi kolonial di kota-kota menimbulkan suatu lapisan masyarakat Belanda yang terutama sejak awal abad ke-20 sangat eksklusif. Kota-kota juga merupakan pusat-pusat administrasi modal swasta yang mengolah perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan Iain-lain. Kota-kota zaman kolonial memang sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
   Di kota-kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal Belanda, turunan Belanda, (Indo-Belanda), kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai suku bangsa. "Timur Asing" atau Cina dan Arab, menduduki ternpat yang khusus dalam kota-kota kolonial karena peranan mereka yang terlepas dari birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Sebagian di antara mereka adalah hasil percampuran biologis dengan masyarakat setempat (Leirissa, 1985: 10).
Apabila kita ambil desa di Jawa sebagai contoh (karena sudah banyak diselidiki) maka susunannya adalah sebagai berikut: Kedudukan yang paling tinggi terdapat di kalangan petani yang memiliki tanah, kebun dan rumah. Mereka dianggap cikal-bakal desa (orang-orang yang pertama kali membuka desa yang bersangkutan) dan pemegang jabatan-jabatan pamong desa. Selanjutnya ter­dapat kelompok yang tidak memiliki tanah, tetapi hanya memiliki rumah dan pekarangan (kebun). Mereka dianggap orang-orang yang datang kemudian menyusul kelompok per­tama. Dalam situasi tertentu seperti dalam masa Tanam Paksa (1830-1870), kelompok cikal-bakal banyak kehilangan prioritas untuk menduduki pamong desa, dan dengan demikian muncullah tokoh-tokoh dari kelompok kedua. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang hanya memiliki rumah saja yang dibangun di tanah sal ah satu kelompok di atas (kelompok numpang). Kelompok ketiga ini, dan kebanyakan dari kelompok kedua, mendapat penghasilan dengan mengerjakan tanah dari kelompok pertama. Kelompok yang keempat adalah mereka yang tidak memilih apa-apa. Kelompok inilah yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam masya­rakat pedesaan.
   Perkembangan masyarakat kota dan masyarakat pede­saan tersebut di atas merupakan bagian dari sejarah masya­rakat Indonesia, Faktor yang menimbulkan kelompok-kelompok baru yang kita namakan masyarakat Indonesia adalah pertama, perkembangan birokrasi, kedua perkembangan eko­nomi, dan ketiga perkembangan sistern pendidikan Barat. Sebelum menguraikan munculnya masyarakat Indonesia perlu pula diperhatikan keadaan masyarakat pedesaan yang sedikit mempengaruhi ideologi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat Indonesia itu. Masa antara 1870 sampai 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa liberal, artinya masa di mana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli Rempah-rempah) dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan.
Dalam periode 1870 sampai 1900 wilayah kekuasaan Hindia Belanda juga meluas meliputi wilayah yang kita kenal sekarang (Sabang-Merauke). Perluasan wilayah ini ada hubunganannya dengan tuntutan-tuntutan pihak swasta untuk meluaskan jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan-tuntutan keamanan, serta saingan-saingan negara-negara Barat Iainnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam masa 1870 sampai 1900 sehiruh wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hindia Belanda sampai ke desa-desa.
   Daerah-daerah yang diperintah Belanda meliputi wilayah-wilayah di pulau Jawa, kepulauan Ambon yang sejak abad ke-17 sudah dimasukkan dalam kekuasaan Hindia Belanda, kepulauan Bangka Biliton yang menghasilkan timah, daerah dan berbagai tempat (di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Irian Jaya) yang dicaplok berangsur-angsur sejak abad ke-17 pula.
Pernah timbul istilah direct-rule dan indirect rule untuk melukiskan/menganalisa perbedaan-perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut. Yang dimaksud dengan pemerintah indirect-rule adalah sistem pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Wilayah keraja-an Yogjakarta dan Surakarta merupakan salah satu contohnya. Sistem pemerintah direct-rule yang jelas nampak di Kepulauan Ambon, yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa.
Birokrasi tradisional di kerajaan besar di Indonesia berubah secara menarik dalam masa penjajahan. Sejak abad ke 18 pihak penguasa di Batavia sudah berhubungan dengan birokrasi tradisional itu. Dalam proses interaksi antara kaum priyayi dan penguasa Belanda timbullah suatu jaringan hubungan khas. Para priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat per antara dari pihak Belanda. Para priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Perdagangan tersebut bersifat monopolistis. maksudnya komoditi yang sebelumnya menjadi monopoli kaum priyayi (seperti perdagangan beras, dan lain-lain) menjadi monopoli Batavia dengan para priyayi sebagai perantara saja. Kekuasaan priyayi tidak lagi tergantung pada sultan (para yayi = adik raja), tetapi pada pihak Kompeni.
    Dengan timbulnya Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan, walau kaum priyayi beralih menjadi pengawas-pengawas perkebunan. Hubungan priyayi dan petani pun tidak berubah. Pengerahan tenaga untuk melaksanakan sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yang sudah ada sebelumnya. Namun ada segi-segi yang baru pertama, para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah-daerah (para controleur), selain itu para priyayi dan para controluer mempunyai kepentingan dalam mengsukseskan sistem itu kare-na mereka menikmati cultuurprocent atau suatu presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan oleh rakyat. Ini berarti bagi petani sistem pertanian yang dipaksakan itu menjadi suatu sistem yang memberatkan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian kaum priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda. Mereka tetap menjalankan fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dan Iain-lain), namun untuk kepentingan asing.
Perkembangan sejak 1870 menimbulkan perubahan-perubahan berikutnya. Jaringan ko munikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga makin banyak dan makin sering dili-hat di lingkungan pedesaan; jaringan administrasi makin diper-luas ke daerah pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. Timbul umpamanya kebutuhan untuk memberikan sekedar pendidikan formal bagi calon-calon Bupati, sehingga didirikanlah Hoofdenschool (sekolah raja) pada tahun 1879 di Jawa dan kemudian di Sumatera dan di Sulawesi Utara. Maka di samping Binnenlands Bestuur (BB) terdapat birokrasi trasdisional (Inlands Bestuur) yang berada di bawah BB. Antara keduanya terdapat jurang pemisah yang sangat sulit dilampaui (Leirissa, 1985: 14-15).
   Elite birokrasi Belanda (Binnenlands Bestuur) yang terdiri atas orang-orang Belanda itu makin memaksakan cara-cara pemerintahan mereka, dan mereka makin mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi lebih banyak diberi kelonggaran dalam memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini mencapai puncak perkembangannya dalam apa yang dinamakan politik etika. Perkembangan sistem pendidikan yang dihasilkan politik etika akan diuraikan dalam bagian lain.
Tahapan berikut dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan sistem pendidikan yang dibangun sejak awal abad ke-20. Sistem pendidikan itu menciptakan suatu golongan baru dalam masyarakat yang sering dinamakan yaitu pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu. Golongan ini tidak hanya timbul di Jawa saja karena gejala yang sama nampak pula di pula-pulau lainnya di Indonesia.
Kebanyakan memang berasal dari lingkungan bangsawan. Mula-mula putra-putra kedua atau ketiga dari kaum bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tua mereka sebagai pejabat pemerintahan (Bupati, dan lain-lain) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Setelah lulus berbagai sekolah kejuruan menengah tersebut di atas, mereka ditempatkan dalam berbagai kedinasan baru yang diciptakan Belanda dalam rangka politik etika.
Apabila sebelumnya tugas pemerintah Hindia Belanda (pe­jabat-pejabat Belanda dan kaum priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan-perkebunan (Tanam Paksa), maka kini birokrasi itu dibebani tugas untuk memelihara kesejahteraan penduduk. Timbullah departemen-departemen baru di Batavia dengan kedinasan-kedinasannya yang bercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan yang diciptakan sebelumnya (1892) muncul departemen pertanian, dan departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dan lain-lain, sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul di kalangan priyayi yang terdidik itu. Demikian pula kantor-kantor swasta memer-lukan pegawai-pegawai rendahan yang banyak jumlahnya.
   Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia. Mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup Barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada uang. Suatu keberanian untuk mengambil nilai-nilai baru yang sebe­lumnya tidak dikenal. Ini menunjukkan adanya suatu dinamika dalam masyarakat, atau suatu vitalitas kebudayaan, sejak awal abad ke-20.
Menurut pendapat sementara sejarawan, ada tiga macam konsekuensi yang perlu diperhatikan dengan timbulnya golong­an baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu ambisi yang dominan dalam suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi birokratis (yang di Jawa dinamakan golongan priyayi). Ini berarti alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan situasi baru sejak abad-abad ke-20. Kedua, sekalipun ada persamaan-persamaan antara pejabat-pejabat Belanda dan pe­jabat-pejabat Indonesia (sifat elitis, asumsi-asumsi dasar yang sama mengcnai pemerintahan, bahasa pengantar yang sama) namun rasialisme tetap dipertahankan; orang-orang Belanda di' atas, dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cende-rung di bawah. Ketiga, golongan baru dalam masyarakat Indo­nesia ini cenderung menjauh dari rakyat pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional (Leirissa, 1985: 17).
   Selain perkembangan birokrasi, perkembangan baru .dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan prasarana. Ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 Km jalan kereta api, dan di Sumatera sudah ada 3500 Km. Sistem komunikasi lainnya yang menghubungi pulau-pulau adalah perkapalari. Kapal uap mulai diintrodusir oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan dibentuknya suatu perusahaan pelayaran (Koningklijke Paketvaart Maats-chappy). Pelabuhan Tanjung Priok dibangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan Padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya. Akibat dari sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah-daerah perkotaan.
Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Dalam sistem lama seorang penguasa tradisional penting cuma karena kehadirannya saja. Kehadirannya merupakan suatu simbol dari suatu sistem sosial dan alam pikiran yang berintikan keseimbangan antara manusia dan kos-mos. Rakyat menerima penguasa karena simbol tersebut. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut. Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa bersamaan dengan munculnya sistem birokrasi baru itu muncul pula kesenjangan budaya antara kaum penguasa (birokrasi) dan rakyat pada umumnya.

Perekonomian Kolonial

    Dilihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 daji wal abad ke-20 Indonesia sedang terlibat dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem manufacturing (pabrik) menggantikan sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan berbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru antara kota dan desa, dan lain-lain. Pihak pemerintah pun ikut campur memikirkan akibat-akibatnya, dan kaum cendekiawan bermunculan dengan berbagai teori untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang pesat itu. Dengan sendirinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inheren dalam sistem baru tersebut (Leirissa, 1985: 31-32).
Bagi daerah-daerah jajahan manifestasi dari perkembangan ekonomi moderen itu tampak dari dua segi pokok. Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan dasar bagi industri yang makin meluas itu. Bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropis. Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin meningkat pula. Daerah tropis yang jumlah penduduknya cukup banyak itu dilihat sebagai suatu potensi besar dalam segi ini. Inilah yang menyebabkan daerah-daerah tropik, terutama bekas daerah perdagangan negara-negara Barat, mendapat arti yang baru. Inilah yang juga menimbulkan perubahan dalam tahun 1860-1870 dengan munculnya sistem Liberal di Indo­nesia. Hal ini antara lain nampak dengan munculnya sistem perkebunan swasta modern di Indonesia.
   Perkembangan perkebunan yang paling menarik adalah di Sumatera Timur. Perkembangan baru di Sumatera Timur sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) di sana. Sebelum itu daerah Sumatera Timur memang sudah dikenal dengan tembakau yang dihasilkan rakyat. Mutu tembakau di sana cukup baik dan Neinhuis memutuskan untuk mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen pertama sebanyak 186 bal yang dengan mudah dijual di Negeri Belanda. Keberhasilan Nienhuis ini segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya. Malah Niehuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya.
Tetapi kelebihan produksi itu dengan sendirinya menim­bulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan tembakau sehingga harga tembakau turun cepat. Dalam waktu tiga tahun saja 25 perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagai akibat tinggalah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Me­reka giat mengadakan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan   Pemilik   Perkebunan   Tembakau. Kemudian diadakan   perbaikan-perbaikan   dalam   pemasaran sehingga nama Tembakau Deli muncul lagi di dunia.
   Hal menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di Sumatera Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan buruh Cina melalui perantara-perantara di Penang dan Singapu-ra. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka Perkumpulan Pemilik Perkebunan Tembakau Deli mencari jalan lain. Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama Biro Imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari Cina. Biro ini selain mengurus pemberang-katan calon-calon buruh tersebut juga mengusahakan suatu sistem tranfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga mereka di Cina. Dengan demi-kian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh menan-datangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu. Sistem kontrak itu disahkan melalui undang-undang Koeli Ordinantie.
   Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk Sumatera Timur telah meningkat menjadi 1,8 juta (sebelumnya hanya sekitar 10.000). Di antaranya 645.000 adalah berasal dari Jawa 225.000 menjadi buruh perkebunan), dan 195.000 berasal dari Cina (11.000 menjadi buruh perkebunan). Tidak semua sistem perkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di Jawa Tengah bagian Utara. Selain itu undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870 juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu", kemudian meningkat pada tahun 1900 menjadi 128.301 bahu. Perkebunan-perkebunan besar lainnya yang' menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina (Leirissa, 1985: 34).
   Dampak bagi masyarakat pedesaan sementara menurut ahli sejarah Asia, ada tiga hal yang penting. Pertama, masya­rakat pedesaan yang tadhfya tertutup (self suficient), makin dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menem-. bus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumahtangga-rumahtangga desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan Iain-lain), Jadi penduduk desa mulai mengenal barang-barang kebutuhan baru dan mulai terkait pada sistem ekonomi yang lebih luas. Kedua, politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa. Umpamanya dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga, pertambahan penduduk yang sangat pesat. Ini terutama disebabkan menurunnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan (Leirissa, 1985: 34-35).
Suatu persoalan yang menarik menurut para sejarawan tersebut adalah kurangnya economic mobility di kalangan masyarakat tingkat priyayi ataupun santri. Dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di Eropa, sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Umpamanya peranan pedagang perantara yang menyalurkan hasil-hasil perkebunan rakyat dan hasil agraria lainnya ke kota-kota besar (untuk disalurkan ke luar negeri ataupun untuk dipakai sendiri oleh penghuni kota) atau pun sebagai penyalur barang-barang konsumsi baru yang mulai meluas sampai ke taraf pedesaan. Yang mengambil ke-sempatan ini ternyata orang-orang Cina yang sudah lama sebelumnya banyak terdapat di Indonesia dan lain-lain daerah di Asia Tenggara.
   Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang-pedagang, karena para pedagang dan tukang-tukang Indonesia melarikan diri atau tidak diperkenankan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri yang diatur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin ini diberi berbagi pangkat seperti Kapitan Cina, Letnan Cina dan lain-lain. Dengan timbulnya perubahan-perubahan yang pesat dalam bidang ekonomi abad ke-19 orang-orang Cina ini juga cepat sekali menyesuaikan diri. Merekalah yang akhirnya muncul sebagai pedagang-pedagang perantara.
Menurut penelitian beberapa sejarawan kelebihan orang-orang Cina (economic mobility me­reka) disebabkan beberapa hal. Pertama, sebelum bermigrasi ke Indonesia (dan Asia Tenggara lainnya) mereka telah me-ngenal suatu sistem pcrdagangan yang luas jangkauan daerahnya dengan suatu sistem moncter tertentu. Selain itu kekompakan mereka untuk bekerja secara gotong royong dalam bidang eko­nomi. Kegiatan dagang mereka selalu didasarkan pada ke-lompok-kclompok kekerabatan, kelompok-kelompok bahasa. Oambaran  mengenai  seorang santri justru  berbeda; santri sangat individual, bcrgerak sendiri-sendiri saja sehingga volume pcrdagangannya tidak besar, dan kemungkinan-kemungkinan perluasan (atau memasuki lapangan-lapangan baru) sangat terbatas (Leirissa, 1985: 37).
   Sejumlah sejarawan juga mempersoalkan mengapa kaum priyayi tidak mengambil kesempatan-kesempatan bagus ter­sebut. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa bagi kaum priyayi perdagangan adalah fungsi untuk golongan rendahan. Umpamanya,  mereka  mempunyai hak untuk lebih dahulu mengadakan transaksi dagang dengan pedagang-pedagang yang datang di kota-kota pelabuhan sebeelum golongan rakyat mendapat kesempatan. Sering perdagangan barang-barang tertentu merupakan hak istimewa atau monopoli golongan priyayi seperti umpamanya perdagangan beras di pantai utara Jawa, atau perdagangan cengkeh di Malu­ku. Dengan terpancangnya sistem monopoli VOC maka peranan ekonomi dari kaum penguasa ini pun menghilang. Di Maluku mereka hanya bertindak sebagai penyalur cengkeh dari rakyat kepada VOC. Semua segi ekonomi dari percengkehan ini sudah tidak ada lagi.
    Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda. Para bupati dalam abad ke-18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang VOC berjalan dengan lancar. Dengan pihak Sultan di keraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras, kemudian kopi, dan lain-lain. Pembatasan inilah yang meru­pakan landasan yang mendorong timbulnya gerakan-gerakan Sarckat Dagang Islam di beberapa kota di Jawa dalam awal abad ke-20.
 
Leirissa, R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.