Senin, 29 April 2013

SISTEM BIROKRASI dan EKONOMI KOLONIAL PADA MASA TANAM PAKSA



Birokrasi

   Masyarakat Kolonial awal abad ke-20 terdiri dari berbagai golongan yang oleh seorang ahli ilmu sosial dikatakan dapat dibedakan menurut garis warna kulit. Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan masyarakat itu, adalah orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaannya berpusat pada seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya yang membawahi berbagai departemen. Kemudian. para gubernur di daerah-daerah yang dikuasai Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan kedinasan. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elite birokrasi kolonial yang dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Pusat-pusat birokrasi kolonial di kota-kota menimbulkan suatu lapisan masyarakat Belanda yang terutama sejak awal abad ke-20 sangat eksklusif. Kota-kota juga merupakan pusat-pusat administrasi modal swasta yang mengolah perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan Iain-lain. Kota-kota zaman kolonial memang sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
   Di kota-kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal Belanda, turunan Belanda, (Indo-Belanda), kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai suku bangsa. "Timur Asing" atau Cina dan Arab, menduduki ternpat yang khusus dalam kota-kota kolonial karena peranan mereka yang terlepas dari birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan ekonomi. Sebagian di antara mereka adalah hasil percampuran biologis dengan masyarakat setempat (Leirissa, 1985: 10).
Apabila kita ambil desa di Jawa sebagai contoh (karena sudah banyak diselidiki) maka susunannya adalah sebagai berikut: Kedudukan yang paling tinggi terdapat di kalangan petani yang memiliki tanah, kebun dan rumah. Mereka dianggap cikal-bakal desa (orang-orang yang pertama kali membuka desa yang bersangkutan) dan pemegang jabatan-jabatan pamong desa. Selanjutnya ter­dapat kelompok yang tidak memiliki tanah, tetapi hanya memiliki rumah dan pekarangan (kebun). Mereka dianggap orang-orang yang datang kemudian menyusul kelompok per­tama. Dalam situasi tertentu seperti dalam masa Tanam Paksa (1830-1870), kelompok cikal-bakal banyak kehilangan prioritas untuk menduduki pamong desa, dan dengan demikian muncullah tokoh-tokoh dari kelompok kedua. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang hanya memiliki rumah saja yang dibangun di tanah sal ah satu kelompok di atas (kelompok numpang). Kelompok ketiga ini, dan kebanyakan dari kelompok kedua, mendapat penghasilan dengan mengerjakan tanah dari kelompok pertama. Kelompok yang keempat adalah mereka yang tidak memilih apa-apa. Kelompok inilah yang sering menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam masya­rakat pedesaan.
   Perkembangan masyarakat kota dan masyarakat pede­saan tersebut di atas merupakan bagian dari sejarah masya­rakat Indonesia, Faktor yang menimbulkan kelompok-kelompok baru yang kita namakan masyarakat Indonesia adalah pertama, perkembangan birokrasi, kedua perkembangan eko­nomi, dan ketiga perkembangan sistern pendidikan Barat. Sebelum menguraikan munculnya masyarakat Indonesia perlu pula diperhatikan keadaan masyarakat pedesaan yang sedikit mempengaruhi ideologi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat Indonesia itu. Masa antara 1870 sampai 1900 dalam sejarah kolonial dilihat sebagai masa liberal, artinya masa di mana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya (Tanam Paksa, Monopoli Rempah-rempah) dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan.
Dalam periode 1870 sampai 1900 wilayah kekuasaan Hindia Belanda juga meluas meliputi wilayah yang kita kenal sekarang (Sabang-Merauke). Perluasan wilayah ini ada hubunganannya dengan tuntutan-tuntutan pihak swasta untuk meluaskan jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan-tuntutan keamanan, serta saingan-saingan negara-negara Barat Iainnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa dalam masa 1870 sampai 1900 sehiruh wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hindia Belanda sampai ke desa-desa.
   Daerah-daerah yang diperintah Belanda meliputi wilayah-wilayah di pulau Jawa, kepulauan Ambon yang sejak abad ke-17 sudah dimasukkan dalam kekuasaan Hindia Belanda, kepulauan Bangka Biliton yang menghasilkan timah, daerah dan berbagai tempat (di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Irian Jaya) yang dicaplok berangsur-angsur sejak abad ke-17 pula.
Pernah timbul istilah direct-rule dan indirect rule untuk melukiskan/menganalisa perbedaan-perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut. Yang dimaksud dengan pemerintah indirect-rule adalah sistem pemerintah Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Wilayah keraja-an Yogjakarta dan Surakarta merupakan salah satu contohnya. Sistem pemerintah direct-rule yang jelas nampak di Kepulauan Ambon, yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa.
Birokrasi tradisional di kerajaan besar di Indonesia berubah secara menarik dalam masa penjajahan. Sejak abad ke 18 pihak penguasa di Batavia sudah berhubungan dengan birokrasi tradisional itu. Dalam proses interaksi antara kaum priyayi dan penguasa Belanda timbullah suatu jaringan hubungan khas. Para priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat per antara dari pihak Belanda. Para priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Perdagangan tersebut bersifat monopolistis. maksudnya komoditi yang sebelumnya menjadi monopoli kaum priyayi (seperti perdagangan beras, dan lain-lain) menjadi monopoli Batavia dengan para priyayi sebagai perantara saja. Kekuasaan priyayi tidak lagi tergantung pada sultan (para yayi = adik raja), tetapi pada pihak Kompeni.
    Dengan timbulnya Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan, walau kaum priyayi beralih menjadi pengawas-pengawas perkebunan. Hubungan priyayi dan petani pun tidak berubah. Pengerahan tenaga untuk melaksanakan sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yang sudah ada sebelumnya. Namun ada segi-segi yang baru pertama, para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah-daerah (para controleur), selain itu para priyayi dan para controluer mempunyai kepentingan dalam mengsukseskan sistem itu kare-na mereka menikmati cultuurprocent atau suatu presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan oleh rakyat. Ini berarti bagi petani sistem pertanian yang dipaksakan itu menjadi suatu sistem yang memberatkan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian kaum priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda. Mereka tetap menjalankan fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dan Iain-lain), namun untuk kepentingan asing.
Perkembangan sejak 1870 menimbulkan perubahan-perubahan berikutnya. Jaringan ko munikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga makin banyak dan makin sering dili-hat di lingkungan pedesaan; jaringan administrasi makin diper-luas ke daerah pedesaan. Ini berarti cara-cara pemerintahan Barat berangsur-angsur menggantikan segi-segi tertentu dari cara-cara pemerintahan tradisional. Timbul umpamanya kebutuhan untuk memberikan sekedar pendidikan formal bagi calon-calon Bupati, sehingga didirikanlah Hoofdenschool (sekolah raja) pada tahun 1879 di Jawa dan kemudian di Sumatera dan di Sulawesi Utara. Maka di samping Binnenlands Bestuur (BB) terdapat birokrasi trasdisional (Inlands Bestuur) yang berada di bawah BB. Antara keduanya terdapat jurang pemisah yang sangat sulit dilampaui (Leirissa, 1985: 14-15).
   Elite birokrasi Belanda (Binnenlands Bestuur) yang terdiri atas orang-orang Belanda itu makin memaksakan cara-cara pemerintahan mereka, dan mereka makin mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi lebih banyak diberi kelonggaran dalam memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini mencapai puncak perkembangannya dalam apa yang dinamakan politik etika. Perkembangan sistem pendidikan yang dihasilkan politik etika akan diuraikan dalam bagian lain.
Tahapan berikut dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan sistem pendidikan yang dibangun sejak awal abad ke-20. Sistem pendidikan itu menciptakan suatu golongan baru dalam masyarakat yang sering dinamakan yaitu pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu. Golongan ini tidak hanya timbul di Jawa saja karena gejala yang sama nampak pula di pula-pulau lainnya di Indonesia.
Kebanyakan memang berasal dari lingkungan bangsawan. Mula-mula putra-putra kedua atau ketiga dari kaum bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tua mereka sebagai pejabat pemerintahan (Bupati, dan lain-lain) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Setelah lulus berbagai sekolah kejuruan menengah tersebut di atas, mereka ditempatkan dalam berbagai kedinasan baru yang diciptakan Belanda dalam rangka politik etika.
Apabila sebelumnya tugas pemerintah Hindia Belanda (pe­jabat-pejabat Belanda dan kaum priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan-perkebunan (Tanam Paksa), maka kini birokrasi itu dibebani tugas untuk memelihara kesejahteraan penduduk. Timbullah departemen-departemen baru di Batavia dengan kedinasan-kedinasannya yang bercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan yang diciptakan sebelumnya (1892) muncul departemen pertanian, dan departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dan lain-lain, sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul di kalangan priyayi yang terdidik itu. Demikian pula kantor-kantor swasta memer-lukan pegawai-pegawai rendahan yang banyak jumlahnya.
   Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia. Mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup Barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada uang. Suatu keberanian untuk mengambil nilai-nilai baru yang sebe­lumnya tidak dikenal. Ini menunjukkan adanya suatu dinamika dalam masyarakat, atau suatu vitalitas kebudayaan, sejak awal abad ke-20.
Menurut pendapat sementara sejarawan, ada tiga macam konsekuensi yang perlu diperhatikan dengan timbulnya golong­an baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu ambisi yang dominan dalam suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi birokratis (yang di Jawa dinamakan golongan priyayi). Ini berarti alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan situasi baru sejak abad-abad ke-20. Kedua, sekalipun ada persamaan-persamaan antara pejabat-pejabat Belanda dan pe­jabat-pejabat Indonesia (sifat elitis, asumsi-asumsi dasar yang sama mengcnai pemerintahan, bahasa pengantar yang sama) namun rasialisme tetap dipertahankan; orang-orang Belanda di' atas, dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cende-rung di bawah. Ketiga, golongan baru dalam masyarakat Indo­nesia ini cenderung menjauh dari rakyat pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional (Leirissa, 1985: 17).
   Selain perkembangan birokrasi, perkembangan baru .dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan prasarana. Ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 Km jalan kereta api, dan di Sumatera sudah ada 3500 Km. Sistem komunikasi lainnya yang menghubungi pulau-pulau adalah perkapalari. Kapal uap mulai diintrodusir oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan dibentuknya suatu perusahaan pelayaran (Koningklijke Paketvaart Maats-chappy). Pelabuhan Tanjung Priok dibangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan Padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya. Akibat dari sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah-daerah perkotaan.
Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Dalam sistem lama seorang penguasa tradisional penting cuma karena kehadirannya saja. Kehadirannya merupakan suatu simbol dari suatu sistem sosial dan alam pikiran yang berintikan keseimbangan antara manusia dan kos-mos. Rakyat menerima penguasa karena simbol tersebut. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut. Yang menjadi persoalan di sini adalah bahwa bersamaan dengan munculnya sistem birokrasi baru itu muncul pula kesenjangan budaya antara kaum penguasa (birokrasi) dan rakyat pada umumnya.

Perekonomian Kolonial

    Dilihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 daji wal abad ke-20 Indonesia sedang terlibat dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem manufacturing (pabrik) menggantikan sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan berbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru antara kota dan desa, dan lain-lain. Pihak pemerintah pun ikut campur memikirkan akibat-akibatnya, dan kaum cendekiawan bermunculan dengan berbagai teori untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang pesat itu. Dengan sendirinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inheren dalam sistem baru tersebut (Leirissa, 1985: 31-32).
Bagi daerah-daerah jajahan manifestasi dari perkembangan ekonomi moderen itu tampak dari dua segi pokok. Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan dasar bagi industri yang makin meluas itu. Bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropis. Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin meningkat pula. Daerah tropis yang jumlah penduduknya cukup banyak itu dilihat sebagai suatu potensi besar dalam segi ini. Inilah yang menyebabkan daerah-daerah tropik, terutama bekas daerah perdagangan negara-negara Barat, mendapat arti yang baru. Inilah yang juga menimbulkan perubahan dalam tahun 1860-1870 dengan munculnya sistem Liberal di Indo­nesia. Hal ini antara lain nampak dengan munculnya sistem perkebunan swasta modern di Indonesia.
   Perkembangan perkebunan yang paling menarik adalah di Sumatera Timur. Perkembangan baru di Sumatera Timur sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) di sana. Sebelum itu daerah Sumatera Timur memang sudah dikenal dengan tembakau yang dihasilkan rakyat. Mutu tembakau di sana cukup baik dan Neinhuis memutuskan untuk mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen pertama sebanyak 186 bal yang dengan mudah dijual di Negeri Belanda. Keberhasilan Nienhuis ini segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya. Malah Niehuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya.
Tetapi kelebihan produksi itu dengan sendirinya menim­bulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan tembakau sehingga harga tembakau turun cepat. Dalam waktu tiga tahun saja 25 perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagai akibat tinggalah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Me­reka giat mengadakan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan   Pemilik   Perkebunan   Tembakau. Kemudian diadakan   perbaikan-perbaikan   dalam   pemasaran sehingga nama Tembakau Deli muncul lagi di dunia.
   Hal menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di Sumatera Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan buruh Cina melalui perantara-perantara di Penang dan Singapu-ra. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka Perkumpulan Pemilik Perkebunan Tembakau Deli mencari jalan lain. Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama Biro Imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari Cina. Biro ini selain mengurus pemberang-katan calon-calon buruh tersebut juga mengusahakan suatu sistem tranfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga mereka di Cina. Dengan demi-kian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh menan-datangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu. Sistem kontrak itu disahkan melalui undang-undang Koeli Ordinantie.
   Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk Sumatera Timur telah meningkat menjadi 1,8 juta (sebelumnya hanya sekitar 10.000). Di antaranya 645.000 adalah berasal dari Jawa 225.000 menjadi buruh perkebunan), dan 195.000 berasal dari Cina (11.000 menjadi buruh perkebunan). Tidak semua sistem perkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di Jawa Tengah bagian Utara. Selain itu undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870 juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu", kemudian meningkat pada tahun 1900 menjadi 128.301 bahu. Perkebunan-perkebunan besar lainnya yang' menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina (Leirissa, 1985: 34).
   Dampak bagi masyarakat pedesaan sementara menurut ahli sejarah Asia, ada tiga hal yang penting. Pertama, masya­rakat pedesaan yang tadhfya tertutup (self suficient), makin dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menem-. bus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumahtangga-rumahtangga desa (pakaian, minyak tanah, sepeda, sabun, dan Iain-lain), Jadi penduduk desa mulai mengenal barang-barang kebutuhan baru dan mulai terkait pada sistem ekonomi yang lebih luas. Kedua, politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa. Umpamanya dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga, pertambahan penduduk yang sangat pesat. Ini terutama disebabkan menurunnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan (Leirissa, 1985: 34-35).
Suatu persoalan yang menarik menurut para sejarawan tersebut adalah kurangnya economic mobility di kalangan masyarakat tingkat priyayi ataupun santri. Dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di Eropa, sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Umpamanya peranan pedagang perantara yang menyalurkan hasil-hasil perkebunan rakyat dan hasil agraria lainnya ke kota-kota besar (untuk disalurkan ke luar negeri ataupun untuk dipakai sendiri oleh penghuni kota) atau pun sebagai penyalur barang-barang konsumsi baru yang mulai meluas sampai ke taraf pedesaan. Yang mengambil ke-sempatan ini ternyata orang-orang Cina yang sudah lama sebelumnya banyak terdapat di Indonesia dan lain-lain daerah di Asia Tenggara.
   Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang-pedagang, karena para pedagang dan tukang-tukang Indonesia melarikan diri atau tidak diperkenankan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri yang diatur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Pemimpin-pemimpin ini diberi berbagi pangkat seperti Kapitan Cina, Letnan Cina dan lain-lain. Dengan timbulnya perubahan-perubahan yang pesat dalam bidang ekonomi abad ke-19 orang-orang Cina ini juga cepat sekali menyesuaikan diri. Merekalah yang akhirnya muncul sebagai pedagang-pedagang perantara.
Menurut penelitian beberapa sejarawan kelebihan orang-orang Cina (economic mobility me­reka) disebabkan beberapa hal. Pertama, sebelum bermigrasi ke Indonesia (dan Asia Tenggara lainnya) mereka telah me-ngenal suatu sistem pcrdagangan yang luas jangkauan daerahnya dengan suatu sistem moncter tertentu. Selain itu kekompakan mereka untuk bekerja secara gotong royong dalam bidang eko­nomi. Kegiatan dagang mereka selalu didasarkan pada ke-lompok-kclompok kekerabatan, kelompok-kelompok bahasa. Oambaran  mengenai  seorang santri justru  berbeda; santri sangat individual, bcrgerak sendiri-sendiri saja sehingga volume pcrdagangannya tidak besar, dan kemungkinan-kemungkinan perluasan (atau memasuki lapangan-lapangan baru) sangat terbatas (Leirissa, 1985: 37).
   Sejumlah sejarawan juga mempersoalkan mengapa kaum priyayi tidak mengambil kesempatan-kesempatan bagus ter­sebut. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa bagi kaum priyayi perdagangan adalah fungsi untuk golongan rendahan. Umpamanya,  mereka  mempunyai hak untuk lebih dahulu mengadakan transaksi dagang dengan pedagang-pedagang yang datang di kota-kota pelabuhan sebeelum golongan rakyat mendapat kesempatan. Sering perdagangan barang-barang tertentu merupakan hak istimewa atau monopoli golongan priyayi seperti umpamanya perdagangan beras di pantai utara Jawa, atau perdagangan cengkeh di Malu­ku. Dengan terpancangnya sistem monopoli VOC maka peranan ekonomi dari kaum penguasa ini pun menghilang. Di Maluku mereka hanya bertindak sebagai penyalur cengkeh dari rakyat kepada VOC. Semua segi ekonomi dari percengkehan ini sudah tidak ada lagi.
    Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda. Para bupati dalam abad ke-18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang VOC berjalan dengan lancar. Dengan pihak Sultan di keraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras, kemudian kopi, dan lain-lain. Pembatasan inilah yang meru­pakan landasan yang mendorong timbulnya gerakan-gerakan Sarckat Dagang Islam di beberapa kota di Jawa dalam awal abad ke-20.
 
Leirissa, R. Z. 1985. Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Tokoh: PERANAN MAHATMA GANDHI UNTUK KEMERDEKAAN INDIA 1969-1948



Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Negara bagian Gujarat di India. Beberapa dari anggota keluarganya bekerja pada pihak pemerintah. Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum. Setelah dia menjadi pengacara, dia pergi ke Afrika Selatan, sebuah koloni Inggris, di mana dia mengalami diskriminasi ras yang dinamakan apartheid. Dia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif tersebut. Gandhi pun membentuk sebuah gerakan non-kekerasan.
Ia mengawali karirnya sebagai seorang pengacara di Afrika Selatan, di mana ia menemukan berbagai persoalan rasial untuk pertama kalinya. Suatu ketika, dalam perjalanan di atas kereta api menuju Pretoria, Gandhi diminta meninggalkan kursi penumpang kelas satu yang ditumpanginya meskipun ia telah membayar tiketnya. Kondektur kereta yang berkulit putih itu dengan sinis mengatakan bahwa selain orang kulit putih tidak diperkenankan menempati kursi kelas utama. Tetapi Gandhi menolak dan bersikeras untuk tetap menempati kursi yang telah dibayarnya itu. Karena penolakan ini, sang kondektur menurunkannya di sebuah stasiun kecil.
Konon, itulah salah satu kejadian yang kemudian membuatnya selalu berjuang untuk keadilan. Dia selalu mencontohkan bahwa kita dapat melawan ketidak adilan tanpa melakukan kekerasan. Semasa di Afrika Selatan-lah Gandhi mulai mengembangkan idenya yang disebut Ahimsa atau anti-kekerasan, dan mengajarkan orang-orang India yang hidup di sana bagaimana menerapkan Ahimsa untuk mengatasi berbagai ketidak adilan yang mereka alami. Metode yang disebut juga sebagai perlawanan pasif atau anti-bekerjasama dengan mereka yang melakukan ketidak-adilan. Gandhi yakin bahwa, dengan menolak-bekerjasama, si oknum akhirnya akan menyadari kesalahannya dan kemudian menghentikan sikap tak adilnya.

2.1  Kedatangan Inggris dan Nasionalisme India
Awal mula aktivitas Inggris di india adalah dalam bidang perdagangan yang dilakukan oleh badan niaga EIC (English East India Company) sejak dibentuk pada tahun 1600 oleh para padagang London. Badan niaga ini oleh pemerintah kerajaan Inggris diberi hak monopoli perdagangan di wilayah antara Inggris dengan dunia Timur (India, Indonesia, dan China) (Suwarno, 2012:106).
Nasionalisme di India sendiri muncul awalnya bersifat gerakan sosial dan pendidikan. Gerakan politik baru ada setelah berdiri Indian National Congress (Partai Kongres India) yang anggotanya terdiri atas golongan intelektual hindu dan muslim (merupakan ide kebangsaan rakyat India). Gerakan perlawanan India dilakukan dengan cara yang halus, seperti yang dilakukan Gandhi.
Gerakan perjuangan Gandhi adalah perlawanan tanpa kekerasan (satyagraha) yaitu ahimsa (gerakan yang melarang pembunuhan), satyagraha (untuk tidak bekerjasama dengan penjajah), hartal (pemogokan, tidak berbuat apa-apa termasuk datang ke tempat kerja), dan swadesi (menggunakan produksi sendiri). Gerakan perjuangan kemerdekaan ini dipimpin Gandhi sejak tahun 1915 sampai tahun 1947. Kemerdekaan yang diperoleh India pada 1947 bukanlah kemenangan militer tapi kemenangan atas nama kemanusiaan.

2.2  Masa Anak-anak Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi adalah nama yang diberikan ketika seorang bayi laki-laki dilahirkan di Porbander, sebuah kota di pesisir pantai yang sekarang dikenal dengan nama Gujarat, India Barat pada tanggal 2 oktober 1869 (Parekh, 2010:1). Ayahnya bernama Karamchand Gandhi berasal dari komunitas Hindu Modh adalah seorang diwan atau perdana menteri dari kerajaan Porbander. Ibunya bernama Putlibai, berasal dari komunitas Hindu Pranami Vaishnava dan merupakan istri keempat dari Karamchand Gandhi. Sedangkan 3 istri terdahulunya meninggal ketika melahirkan bayi (Adams. 2010:8).
Tumbuh dengan ibu yang beriman dan tradisi agama yang kuat, Mahatma Gandhi muda telah menyerap nilai-nilai kehidupan yang kelak menjadi dasar hidupnya, diantaranya rasa belas kasihan terhadap makhluk hidup, vegetarian, puasa untuk pemurnian diri, dan toleransi antar umat beragama.
Di bulan Mei 1883, Mahatma Gandhi (13 tahun) menikah dengan Kasturbai Makhanji (14 tahun) dalam pernikahan yang diatur oleh orang tuanya. Pernikahan bagi orang Hindu bukan hal yang sederhana. Orang tua mempelai pria dan wanita sendiri yang acap kali menrusaknya. Menyia-nyiakan keberadaan mereka, menyia-nyiakan waktu mereka. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk melakukan persiapan membuat baju dan hiasan-hiasannya serta mempersiapkan anggaran untuk makan malam (Gandhi, 2009:11). Berdasarkan kepercayaan pengantin wanita lebih banyak tinggal di rumah orang tua mempelai wanita dan jauh dari suaminya, Mahatma Gandhi. Pada tahun 1885, Mereka dikaruniai seorang anak namun hanya bertahan beberapa hari. Pada tahun itu juga ayah dari Mahatma Gandhi meninggal dunia. Ketika kehidupan mereka terjalin lebih erat daripada periode-periode lain selama masa pertemanan mereka (Kakar, 2004:15).

2.3  Masa Dewasa Mahatma Gandhi
Mahatma dan Kasturba memiliki 4 anak lagi yaitu Harilal, lahir tahun 1888; Manilal, lahir tahun 1892; Ramdas, lahir tahun 1897; dan Devdas, lahir tahun 1900. Walaupun sudah menikah, Mahatma Gandhi tetap mendapatkan pendidikan SMP dan SMA. Bahkan Beliau melanjutkan kuliah di Universitas Samaldas, Bhavnagar, Gujarat, walaupun dengan beberapa kesulitan. Selama kuliah, Beliau tidak merasa senang karena keluarganya menginginkan Beliau menjadi seorang pengacara.
Tanggal 4 September 1888, saat itu Gandhi hampir berumur 19 tahun, Gandhi pergi ke London untuk belajar hukum di universitas London dan berlatih untuk menjadi seorang pengacara. Ketika di inggris, Mahatma Gandhi tetap mematuhi janjinya kepada ibunya untuk mempertahankan pantangan Hindu untuk tidak makan daging, alkohol dan persetubuhan yang tidak sah.
Walaupun demikian Mahatma Gandhi tetap belajar kebiasaan di Inggris seperti dansa. Namun tetap saja perutnya tidak bisa memakan daging domba yang disediakan oleh pemilik rumah. Kemudian Beliau ditunjukkan pada beberapa restauran vegetarian di London. Ia bahkan kemudian menemukan komunitas vegetarian dan hal ini memberikan pengalaman berorganisasinya.
Kebanyakan vegetarian yang ia jumpai adalah anggota dari Theosophical Society yang mempelajari literatur Buddha dan Hindu. Mereka menyarankan Gandhi untuk membaca Bhagavad Gita. Namun Gandhi tidak berhenti sampai disana, Beliau membaca tulisan-tulisan tentang Buddha, Hindu, Kristen, Islam dan Kepercayaan lainnya.
Kemudian Mahatma Gandhi balik ke India untuk bekerja. namun ia belum mendapatkan sukses dalam pekerjaan hukum di Bombay. Kemudian setelah menjadi pengajar paruh waktu SMA, beliau kembali ke Rajkot untuk menulis naskah petisi hidup sederhana untuk penggugat. Namun usaha ini ditutup paksa oleh pemerintah inggris karena diangap menentang. Dalam biografinya, Mahatma Gandhi menyebut insiden ini sebagai kegagalan melobi. Kemudian di tahun 1893, beliau menerima kontrak jangka panjang dengan perusahaan India untuk dipindahkan ke Natal, Afrika Selatan. Apa yang membuat karir Gandhi sehingga layak dicatat adalah bahwa ia adalah untuk sejarawan jalan ke kompleksitas kehidupan masyarakat India (Brown, 1974:33).

2.4  Pergerakan Sipil di Afrika Selatan (1893–1914)
Di afrika selatan, Mahatma Gandhi merasakan diskrimasinasi bagi warga negara India. Beliau pernah dikeluarkan dari kereta karena melawan ketika dipindahkan dari kelas 1 ke kelas 3 walaupun Beliau memiliki tiket resmi kelas 1. Dan banyak lagi kejadian yang Beliau rasakan sangat mendiskriminasi orang-orang India. Baginya, demokrasi yang ideal melindungi mencerminkan pluralitas, terutama menanggapi mereka yang telah dikeluarkan di masa lalu (Terchek, 1998:42).
Mahatma Gandhi adalah pendiri dari kongres warga india di Natal dan menuntut beberapa hal kepada pemerintah. Walaupun tidak berhasil tetapi gerakan ini mendapat perhatian di Afrika Selatan. Tahun 1906, di Johannesburg Beliau menerapkan pertama kali konsep kepercayaan satyagraha yaitu protes tanpa kekerasan. Walaupun dengan cara ini Beliau bersama ribuan warga India lainnya masuk penjara. Beberapa orang yang berhubungan dengan gerakan ini ditembak atau dibakar identitasnya.
Keliatannya pemerintah Afrika Selatan berhasil menekan pengunjuk rasa. Namun publik ternyata tergerak hatinya untuk meminta pemerintah Afrika Selatan untuk berunding dengan Mahatma Gandhi. Ide perjuangan Gandhi ini telah terbentuk dan konsep satyagraha awal sudah muncul dalam pergerakan ini.

2.5  Perjuangan Gandhi Untuk Kemerdekaan India
Pada 18 Juli 1914, setelah bernegosiasi bagi sebuah penyelesaian baru dengan pemerintah, demi kebaikan bersama Gandhi meninggalkan Afrika Selatan. Dia berlayar ke Inggris, dan akhirnya kembali secara permanen ke India pada 9 Januari 1915, dan disambut layaknya seorang pahlawan. Di bawah tuntunan G.K. Gokhale, seorang politisi kawakan, Gandhi menghabiskan tahun pertamanya dengan kembali menemukan tanah airnya sendiri melalang-buana di negeri itu, mempelajari masalah-masalahnya dan mendengar kaum miskin. Dia sering sesuai dan masuk akal yang ia bisa dengan politisi India Dadabhai Naoroji dan G.K. Gokhale (Tidrick, 2006:57). Dia kembali lagi mengenal kebutuhan dan potensi India dan mempelajari bagaimana dia bisa menerapkan pelajaran-pelajaran satyagraha yang dipelajari di Afrika Selatan bagi perjuangan India dalam memperoleh kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.
Gandhi mendirikan ashram lagi, di sungai Sabarmati dekat Ahmedabad, di mana dia tinggal selama enam belas tahun berikutnya. Lebih dari 250 orang pada akhirnya bergabung dengan komunitasnya,  yang mempraktekkan 14 kaul, termasuk kebenaran, non-kekerasan, selibasi, kemiskinan, ketidaktakutan, kerja fisik, toleransi terhadap semua agama, dan membuat baju sendiri. Mereka berdoa bersama, makan bersama, mengolah tanah, menerbitkan surat kabar, dan menyiapkan diri mereka untuk menderita dan mati dalam perjuangan tanpa-kekerasan bagi kemerdekaan. Di tahun 1917, seorang petani nekat dari sisi lain negeri itu memohon Gandhi untuk mengunjungi wilayah pelosok yang sangat miskin (Champaran) dan membantu petani-petani yang kelaparan dalam perjuangan mereka melawan tuan-tuan tanah Inggris yang kejam. Gandhi setuju, melakukan perjalanan yang panjang dengan kereta api, dan diam-diam mengumpulkan informasi tentang ketidakadilan-ketidakadilan spresifik terhadap para petani. Dia berharap untuk tinggal satu bulan, tetapi tinggal hampir dua tahun. Suatu hari, ketika dia sedang menunggang seekor gajah, Inggris menahannya. Dalam satu malam, berita itu menyebar keseluruh wilayah itu bahwa seorang suci telah ditahan ketika sedang memperjuangkan hak-hak mereka. Ribuan petani berkumpul di luar gedung pengadilan untuk mendukung Gadhi. Dia segera dibebaskan, diizinkan untuk menyelesaikan tugasnya tentang pelanggaran-pelanggaran terhadap para buruh tani, dan pada akhirnya, pemerintah India meloloskan sebuah hukum reformasi agraria yang baru untuk melindungi buruh tani yang tertindas. Gandhi menjadi harapan rakyat India.
Pada 18 Maret 1919, Inggris mengumumkan bahwa tindakan-tindakan represif yang diberlakukan selama Perang Dunia I melawan gerakan kemerdekaan India, yang telah membatasi hak-hak sipil, akan dilanjutkan, walaupun perang telah usai. The Rowlatt Acts menghentikan kebebasan berbicara, pers dan berserikat, dalam suatu usaha untuk menumpas ketidakpuasan yang terus meningkat. Gandhi mengumumkan hari berikutnya bahwa ia telah bermimpi di mana seluruh bangsa India melakukan pemogokan melawan pemerintah Inggris, dan dia mengundang seluruh bangsa India untuk mewujudkan impiannya itu. Pada 6 April, sebagai jawaban bagi seruan Gandhi bagi sebuah hartal umum, yakni sebuah hari doa dan puasa nasional, kurang lebih setiap orang tinggal di rumah untuk berdoa dan berpuasa dan India tutup selama satu hari. Jutaan orang berpawai di jalan mengejutkan dan menakjubkan Inggris dan Gandhi. Tiba-tiba, India bangun. Pemerintah Inggris merespon dengan melakukan apa yang kerajaan kehendaki- yakni menumpas gerakan itu, menahan pemimpin-pemimpinnya, membunuh pendemo- pendemo. Minggu berikutnya, serdadu Inggris membantai 379 pendemo damai dan melukai 1.200 lainnya di kota Amritsar.
Dalam bulan-bulan berikutnya, Gandhi berdoa sepenuhnya dan memutuskan hubungannya sama sekali dengan kerajaan Inggris serta membaktikan seluruh sisa hidupnya demi tercapainya kemerdekaan India melalui cara-cara damai tanpa-kekerasan. Dia menyerukan secara massal “non-kooperasi tanpa-kekerasan terhadap Inggris, sampai mereka secara damai menyadari bahwa mereka adalah tuan-tuan di rumah orang lain dan pergi.” Di tahun 1920, Gandhi mendekati the Indian National Congress untuk mengadopsi strategi satyagraha demi mencapai kemerdekaan, dan gerakan itu mulai secara resmi. Dari tahun 1920 sampai 1921, Gandhi menyerukan pembangkangan sipil secara luas melawan pemerintah Inggris, tetapi setelah sekelompok demonstran secara brutal membunuh 21 opsir polisi di Chauri Chauri, Gandhi menangguhkan gerakan itu membuat marah pemimpin-pemimpin protes lainnya. Selama sisa hidupnya, Gandhi akan bergulat dengan gerakan itu, menyerukan penghentian setiap kampanye bila ada kekerasan sedikit saja. Pada akhirnya, dia menyesali bahwa orang India tidak pernah bersungguh-sungguh dengan non-kekerasan sebagaimana yang kehendakinya dari mereka.
Pada tahun 1922, lebih dari 50.000 orang India dipenjarakan karena pembangkangan sipil. Ketika Gandhi menghentikan kampanye itu, Inggris melepas semua tahanan politik, tetapi menahan Gandhi. Pada 18 Maret 1922 ia dibawa ke hadapan seorang hakim dengan tuntutan menghasut dan diundang untuk membuat sebuah pernyataan sebelum dia dihukum. “Non-kooperasi dengan kejahatan adalah tugas yang sama pentingnya dengan kooperasi dengan kebaikan,” kata Gandhi, dan karena pemerintahan Inggris atas India adalah sebuah kejahatan, ia nyatakan, dia bersalah karena non-kooperasi tanpa-kekerasan terhadap kejahatan tersebut. Kemudian ia menantang  hakim untuk memberinya hukuman yang setinggi mungkin atau mengundurkan diri dan bergabung dengan gerakan tersebut. Gandhi dihukum enam tahun di penjara, hukuman maksimum.
Selama dua tahun berikutnya di balik terali besi, Gandhi bermeditasi, membaca ratusan buku, menulis surat-surat yang tak terhitung banyaknya, dan bekerja dengan roda pemintalannya setiap hari. Dia juga menulis otobiografinya sendiri. Meskipun pemerintah Inggris mencoba untuk membungkam Gandhi, pemenjaraan terhadap dirinya hanya semakin menempatkan dirinya di hati semua orang India, yang sekarang memanggilnya, “Mahatma,” yang artinya “Jiwa Besar.” Gandhi meminta kepada semua orang yang berisiko ditahan untuk memeluk penderitaan dengan kasih, sebagai jalan menuju kemerdekaan politik dan spiritual. “Kita harus memperlebar pintu-pintu penjara,” tulisnya, “dan kita harus masuk ke dalamnya sebagai pengantin pria yang memasuki kamar pengantin, Kebebasan hendaknya dirayu hanya di dalam tembok-tembok penjara dan kadang-kadang di tiang gantung, tidak pernah di ruang dewan, pengadilan, atau ruang sekolah.” Pada 5 Februari 1924, Gandhi dilepaskan dari penjara karena kesehatannya yang buruk. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika sedang meneruskan dukungannya bagi kemerdekaan, dia banyak memfokuskan waktunya pada mereformasi kehidupan rakyat India, untuk menyiapkan India bagi datangnya kemerdekaan. Prioritas utamanya adalah persatuan Hindu-Muslim. Pada satu saat, dia menjalani puasa 21 hari yang melelahkan bagi rekonsiliasi antar agama dan reformasi, yang menginspirasi jutaan orang India untuk menghilangkan prasangka buruk di masa lampau dan mengejar rekonsiliasi. Dia menyerukan penghapusan kasta paling rendah dari Hinduisme, kasta  tak-tersentuhkan, yang termiskin dari kaum miskin, yang ditakdirkan sejak lahir hingga mati hanya untuk membersihkan toilet-toilet. Dia menganjurkan penggunaan roda pemintal setiap hari untuk membuat pakaian seseorang, dan suatu boikot terhadap pakaian-pakaian Inggris. Dia berkampanye bagi pengembangan “program-program pembangunan,” yang akan memperbaiki kehidupan desa bagi masyarakat biasa dan miskin India. Dia mengelilingi negara itu, menyebarkan ajarannya tentang non-kekerasan dan menginsprasi jutaan orang India untuk mengubah hidup dan bangsa mereka. Kadang-kadang dia bertemu dengan viceroy (seseorang yang memerintah sebuah koloni) Inggris yang sedang menjabat dan akan mengumumkan bahwa waktunya telah tiba bagi Inggris untuk meninggalkan India. Ratusan ribu orang akan berbondong- bondong melihat dia di mana saja dia muncul. Jika banyak orang itu ribut dan tak terkendali, dia akan duduk diam selama berjam-jam, sampai setiap orang benar-benar tenang. Kemudian, dia akan pergi dengan tenang. Pada 2 Maret 1930, Gandhi menulis kepada viceroy dan mengumumkan bahwa kecuali jika Inggris mencabut pajak garam yang menyengsarakan jutaan rakyat India, dia akan memulai sebuah kampanye pembangkangan sipil.
Pada 12 Maret, Gandhi menggelar pawai 240 mil ke kota Dandi yang terletak di pinggir laut. Ribuan orang keluar untuk menyalami para pengikut pawai, mengejutkan bahkan Gandhi. Setiap hari tekanan dan kegembiraan memuncak. Pada 6 April, setelah meditasi pagi, Gandhi membungkuk dan memungut garam illegal. Negara itu bersorak-sorai gembira. Ratusan ribu orang mulai memungut, membuat, menjual dan mendistribusi garam, sehingga melanggar pajak garam Inggris dan menyatakan kemerdekaan mereka. Tindakan Gandhi yang sederhana itu berhasil. Tindakan itu membangkitkan raksasa yang sedang tidur dan hari-hari pemerintahan Inggris tinggal sedikit.
Dalam sebulan, Inggris menahan dan memenjarakan 60.000 pemrotes, termasuk semua pemimpin pergerakan. Gandhi sendiri ditahan pada 14 Mei dan dipenjarakan selama delapan bulan.Pada 20 Mei, dua ribu orang satyagrahis berjalan menuju tambang garam Dharsana dan mendekati pintu dalam kelompok-kelompok kecil untuk masuk dan menuntut hak garam mereka. Saat setiap kelompok pemrotes Gandhi mendekat, serdadu- serdadu Inggris dengan kejamnya memukuli mereka di kepala dengan tongkat-tongkat baja, mencederai ratusan dan membunuh beberapa orang dari mereka. Dunia menjadi marah atas laporan-laporan mengenai serangan keji oleh apa yang disebut kerajaan Inggris yang “beradab” terhadap para demonstran damai yang tidak bersenjata yang bahkan tidak menggunakan tangan untuk membela diri. Beribu-ribu orang lagi bergabung dengan protes itu. Inggris dengan cepat kehilangan kendali dan menjadi lebih represif. Dalam tahun itu, Inggris memenjarakan lebih dari 100.000 orang India karena protes damai. Jutaan orang di seluruh dunia mulai berseru agar Inggris meninggalkan India.
Di bulan Maret 1931, sebagai jawaban atas tekanan yang memuncak, Inggris melepas semua tahanan politik, mengakui hak boikot pakaian buatan luar negeri, dan mencabut larangan atas garam buatan-rumah. Mereka kemudian mengundang Gandhi ke Inggris untuk sebuah konferensi “Meja Bundar” guna membahas kemungkinan kemerdekaan bagi India. Gandhi pergi ke London, di sana dia tinggal selama empat bulan dengan Muriel Lester di Kingsley Hall di bagian East End yang miskin. Sekalipun tidak ada hasil politik langsung dari usaha-usahanya, Gandhi mampu membawa kasus kemerdekaan itu bagi jutaan masyarakat Inggris dan Eropa. Dia memenangkan hati mereka dengan kesederhanaan, kelemahlembutan dan kebenaran. Meskipun teman-teman seperjuangannya menyimpulkan bahwa konferensi itu adalah sebuah kegagalan, Gandhi merasa bahwa seseorang tidak boleh menolak bertemu dengan musuhnya. Satu minggu setelah dia kembali ke India, pada 4 Januari 1932, Inggris melarang partai Kongres dan memenjarakan semua pemimpin-pemimpinnya, termasuk Gandhi.
Gandhi terus berbicara mengenai penghapusan kasta tak tersentuhkan Hindu. Pada 20 September, dia memulai sebuah “puasa hingga mati” di sel penjaranya “bagi penghapusan kasta tak-tersentuhkan.” Dunia terkejut. Kawan-kawannya, terutama Nehru, berkata bahwa kasta tak-tersentuhkan telah ada selama ribuan tahun, dan puasa seperti itu sama saja dengan bunuh diri. Tetapi rakyat India menghormati Gandhi dan mempercayai kebijaksanaannya. Sebentar saja, pemimpin-pemimpin Hindu di seluruh negeri menerima kasta tak-tersentuhkan di kuil-kuil mereka untuk pertama kali dalam ribuan tahun. Hanya dalam beberapa hari, Hinduisme mengalami reformasi karena orang-orang beriman menghormati Mahatma mereka. Setelah lima hari, Gandhi mengakhiri puasanya. Dia akan melanjutkan pembelaannya bagi kaum tak-tersentuhkan selama sisa hidupnya, dan Hinduisme tidak akan pernah sama (seperti dulu lagi).
Gandhi dikeluarkan dari penjara bulan Mei 1933. Dia dan Kasturbai memutuskan untuk memindahkan rumah mereka ke wilayah termiskin di India, sebuah kampung kecil yang terpencil bernama Wardha, yang terletak langsung di tengah-tengah India. Kemudian ia memulai tur keliling negeri sepenuh waktu dan berkampanye bagi reformasi kehidupan desa India. Selama enam tahun berikutnya Gandhi mengelilingi negara itu, berbicara dengan jutaan orang, mengentas kemiskinan dan buta huruf, mendesak penggunaan roda pemintalan, mengumpulkan banyak uang guna mendukung kaum hina-dina, yang sekarang ia sebut “Harijans,” atau Anak-anak Tuhan.” Pada beberapa pawai, lebih dari dua ratus ribu orang muncul untuk melihat Gandhi menyalakan korek api dan membakar tumpukan-tumpukan besar pakaian buatan Inggris.
Selama bertahun-tahun, dia membangun apa yang disebut sebuah “kampung model,” atau “Sevagram” yang artinya “Kampung Pelayanan,” di Wardha, yang akan menjadi rumahnya selama sisa hidupnya. Dia memilih lokasi itu karena kemiskinannya yang ekstrim dan karena daerah ini didiami hampir seluruhnya oleh kaum hina-dina. Dia berharap ini akan menjadi sebuah tempat untuk menyepi. Yang terjadi adalah sebaliknya, kampung itu dengan cepat menjadi situs peziarahan, dan puluhan ribu orang mengunjungi kampung itu selama bertahun-tahun. Rumahnya adalah sebuah gubuk kecil yang terbuat dari lumpur dan bambu yang berisikan roda pemintal, sebuah tikar jerami, sebuah meja tulis yang rendah dan dua rak untuk beberapa buku. Dia bangun untuk berdoa pada pukul 04.00 setiap pagi, dan hanya makan buah, kacang dan sayur-sayuran. Sebagaimana sebelumnya, dia dan teman-temannya membuat pakaian mereka sendiri, menanam pangan sendiri, dan menjalankan sekolah mereka, menerbitkan surat kabar mereka sendiri, mengumpulkan dana bagi kaum termiskin, dan saling berbagi segala sesuatu bersama-sama. Pernah ketika dia mulai masa pemenjaraannya, dia diminta untuk menulis pekerjaannya dan menulis “petani dan penenun.” Meskipun seorang pengacara, politisi dan jurnalis, Gandhi melihat dirinya sebagai orang miskin yang sederhana, yang hidup menyepi dan miskin, berbakti pada teman-temannya dan perjuangan untuk keadilan dan perdamaian.
Sewaktu dunia terjerumus lagi dalam peperangan, Gandhi terus memperjuangkan non- kekerasan dan alternatif-alternatif damai terhadap perang. Ketika perang mulai di tahun 1939, Gandhi terduduk dan menangis. Sekalipun dia menentang kaum Nazi, dia juga menolak peperangan dan berbicara menentang perang di mana-mana, menyerukan perlawanan tanpa-kekerasan terhadap Hitler. Pendiriannya adalah salah satu dari beberapa suara di dunia yang menentang Perang Dunia II. Di tahun 1940, Gandhi meninggalkan Partai Kongres ketika mereka memutuskan untuk mendukung Inggris dalam perang. Dia bergabung kembali di tahun berikutnya setelah Churchill menolak tawaran Partai Congress untuk membantu melawan kaum Nazi. Gandhi mengumumkan berkali-kali bahwa jika Sekutu benar-benar membela demokrasi, mereka harus segera memberikan kemerdekaan kepada India. Pandangan publiknya menentang perang lebih mengancam Inggris daripada perjuangannya bagi kemerdekaan, dan Pemerintah Inggris, yang dipimpin Churchill, sejak saat itu semakin membenci Gandhi.
Pada 8 Agustus 1942, Gandhi menyerukan kampanye pembangkangan sipil yang baru melawan pemerintahan Inggris. Hari berikutnya, Inggris menahan dia dan istrinya. Kerusuhan pecah di seluruh negeri. Di awal 1943, Gandhi menjalani puasa 21 hari guna menentang baik imperialisme Inggris dan kekerasan India. Dia hampir membahayakan nyawanya. Pada 22 Februari 1944, istri tercinta Gandhi yaitu Kasturbai meninggal dalam pelukannya di penjara, setelah sakit yang lama. Mereka telah menikah selama enam puluh-dua tahun. Gandhi menguburkan abunya di dalam tanah di penjara. Beberapa bulan sebelumnya, sekretaris Gandhi, salah satu teman terdekatnya, juga telah meninggal dalam penjara. Musim semi itu, setelah Gandhi terserang malaria dan hampir meninggal, Inggris melepasnya pada 6 Mei 1944. Secara keseluruhan, Gandhi ditahan dua belas kali selama hidupnya dan menghabiskan hampir enam tahun di balik terali besi (2.089 hari di penjara-penjara India dan 249 hari di penjara Afrika Selatan).
Dengan hampir berakhirnya perang dan semakin jelas bahwa Inggris akan menarik diri dari India, politisi-politisi Muslim menuntut agar India dibagi berdasarkan garis agama untuk menciptakan Pakistan Timur dan Pakistan Barat. Kekerasan dan kerusuhan antara umat Hindu dan Muslim merebak di seluruh negeri. Gandhi memutuskan untuk melakukan perjalanan di salah satu pinggiran India yang termiskin, dimana kebanyakan kerusuhan dan pembantaian brutal terjadi, berupaya menyerukan persatuan dan non- kekerasan. Selama hampir enam bulan, Gandhi berjalan melintasi Noakhali, salah satu wilayah terpencil India, yang terdiri dari dua setengah juta orang Muslim yang hidup dan menderita dalam keputusasaan dan kemiskinan. Sekalipun dia secara relatif kurang dikenal di provinsi terpencil ini, dimana tak seorangpun mendengar kabar apapun dari dunia luar, dalam beberapa minggu, daerah itu merayakan kehadiran seorang mahatma yang berjalan telanjang kaki dari kampung ke kampung meneriakkan non-kekerasan dan persatuan religius. Gandhi akan tinggal semalam dengan petani pertama yang menawarkannya tumpangan. Keseluruhannya, dia mengunjungi 49 desa. Dia menginspirasi umat Muslim untuk menerima kembali umat Hindu yang telah meninggalkan daerah itu. Dalam beberapa bulan, seluruh daerah itu melucuti senjata dan menjadi damai. Kemudian, setelah kematiannya, sahabat-sahabat Gandhi menggambarkan bulan-bulan di Noakhali sebagai periode paling mukjizat dalam kehidupan Gandhi. Dia berjalan tanpa senjata sebagai seorang peziarah perdamaian yang masuk ke zona perang yang sedang kacau-balau, seorang rasul non-kekerasan di tanah yang dikuasai kekerasan. Setiap orang terpukau oleh Gandhi. Waktu itu dia berusia tujuh puluh-delapan tahun.
Dengan berakhirnya perang, Amerika menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, membakar seratus empat puluh ribu orang dalam dua ledakan dahsyat yang cepat. Gandhi mengecam bom atom, dan menyerukan pada kekuatan-kekuatan dunia agar tidak menggunakan senjata itu lagi. Dia adalah suara agamawi yang paling berpengaruh di dunia yang melawan pengembangan senjata nuklir Amerika Serikat. Dia menyerukan pada negaranya sendiri agar tidak pernah menciptakan atau menggunakan senjata seperti itu. Sampai mendekati ajalnya, berulang kali dia berkata bahwa kepemilikan senjata nuklir berisiko menghancurkan planet. Seruannya tentang perlucutan senjata nuklir menjadi pesan spiritual utamanya hingga kematiannya.
Setelah Churchill dikalahkan, pemerintah Inggris yang baru memutuskan untuk memberi kemerdekaan kepada India dan menerima tuntutan-tuntutan kaum Muslim untuk menciptakan negara Muslim Pakistan dan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) yang terpisah. Pada 15 Agustus 1947, kemerdekaan diberikan. Gandhi menghabiskan hari itu dalam kesendirian, berdoa, dan berpuasa bagi persatuan dan non-kekerasan. Tetapi ketika jutaan pengungsi Muslim melarikan diri ke dua Pakistan dan jutaan orang Hindu meninggalkan Pakistan Timur dan Pakistan Barat menuju India, negeri itu dilanda kekerasan. Ratusan ribu orang dibantai hanya adalah beberapa bulan.
Gandhi mencari suatu jalan untuk menghentikan pembunuhan. Dia memutuskan untuk pindah ke dalam rumah seorang Muslim yang miskin di Calcutta, wilayah yang kekerasannya paling buruk, dan menyatakan akan berpuasa sampai mati hingga kekerasan berhenti. Dalam 73 jam, ribuan umat Hindu dan Muslim tidak hanya menghentikan kekerasan, tetapi mulai berpawai dan berdoa bersama. Ketika Gandhi hampir meninggal, Calcutta terdiam dan setiap orang berdoa bagi perdamaian. Gandhi mengakhiri puasanya. Kekerasan telah berhenti karena tak seorangpun menginginkannya menderita karena apa yang mereka lakukan. Gandhi telah membuat sebuah mukjizat lagi. Paling kurang, selama tahun-tahun yang buruk itu, hampir satu juta orang India terbunuh ketika negeri itu terpecah. Gandhi kemudian pindah ke Delhi untuk mencoba menghentikan kerusuhan-kerusuhan di sana. Pada 13 Januari 1948, ia memulai lagi puasa sampai mati. Ini adalah puasa publiknya yang ke sebelas. Parade-parade besar diorganisir dan pertemuan-pertemuan antar para politisi dan pemimpin agama setempat diadakan, dan pada hari ke enam, lima puluh orang Muslim, Hindu dan Sikh yang terkemuka menandatangani perjanjian damai di hadapan Gandhi. Tetapi Gandhi berkata bahwa ini belum cukup, dan dia mulai menangis. Mereka menegaskan bahwa komitmen persatuan Hindu-Muslim adalah sungguh-sungguh. Ketika dia mendengar permohonan mereka, dia memutuskan untuk mengakhiri puasanya. Hari berikutnya, pada 20 Januari, sebuah bom meledak sewaktu dia sedang menyelenggarakan pertemuan doa malam di alam terbuka. Disaat banyak umat Muslim membencinya sebagai seorang pemimpin Hindu, banyak umat Hindu fanatik membencinya karena membela dan melindungi umat Muslim. Pada 29 Januari, dia berkata kepada seorang teman, “Jika seseorang akan mengakhiri hidupku dengan menembakkan sebuah peluru pada tubuhku, dan aku menerima peluru itu tanpa mengerang dan mengakhiri napasku dengan menyebut nama Tuhan, maka dengan itu saja telah kubuat klaimku yang baik.”
Gandhi merasa dia akan dibunuh.  Gandhi merasa bahwa dia telah gagal meyakinkan India bahwa non-kekerasan adalah satu-satunya cara menuju kemerdekaan. Pemisahan negeri, pembantaian, kerusuhan, kebencian yang dalam dan perang dunia telah membuat dia sedih dan depresi. Tapi dia meneruskan pekerjaan umumnya bagi perlucutan senjata, dan berencana mengadakan perjalanan ke Pakistan. Pada 30 Januari 1948, jam 5.10 sore, sewaktu ia berjalan melintasi taman menuju upacara doa malamnya, Gandhi ditembak dan mati. Dia jatuh ke tanah meneriakkan nama Tuhan.
“Aku tidak memiliki sesuatu yang baru untuk diajarkan kepada dunia,” tulis Gandhi tak lama sebelum ia meninggal. “Kebenaran dan non-kekerasan sama tuanya dengan bukit- bukit. Semua yang kulakukan adalah mencoba bereksperimen dengan keduanya pada skala yang sebesar mungkin semampuku. Dengan melakukan hal itu, aku kadang-kadang membuat kesalahan dan belajar dari kesalahanku itu. Kehidupan dan masalahnya telah menjadi eksperimen yang begitu banyak buatku dalam praktek kebenaran dan non- kekerasan.” 
Memorial Gandhi di New Delhi berisi prasasti bertuliskan “He Ram” atau bisa diartikan “Oh God”. Banyak yang percaya bahwa itu adalah kata terakhir yang diucapkan oleh Mahatma gandhi ketika tertembak.

2.6  Ajaran Mahatma Ghandi
Mohandas Karamchand Candhi berpendapat bahwa penbaharuan mausia akan nenimbulkan perubahan keadaan politik. Cita-cita politik harus dicapai dengan pembaharuan manusia yang akan memaksa keadaan (politik) berubah nenurut kehendak manusia itu. Ajaran-ajaran dari Gandhi ialah :
a.       Swadeshi, segala yang ada didunia ini telah ditetapkarn oleh alam. Karena itu nanusia atau Negara wajib tunduk dan nengakui apa yang telah ditetapkan oleh alam itu. Tiap bangsa, tiap negara telah nenerima penetapan alam, tentang kedudukan dan tugasnya masing-masing. Karena itu tidaklah boleh untuk urencampuri persoalan orang lain atau negara lain. Imperialisme adalah pelanggaran akan hal ini, karena itu imperialisme tidak diperkenankan. Tiap bangsa harus berusaha mengembangkan negaranya dengan kekuatan sendiri yang telah diterimanya dari aIam. Karena itu gerakan swadeshi menganjurkan rnenenun dan memakai pakaiannya sendiri dan melarang buatan Negara asing (Inggris). Swadeshi berarti memboikot terhadap segala macam buatan penjajah sekaligus mempertebal nasionalisme.
b.      Satyagraha, manusia harus memegang teguh kebenaran dan menolak apa yang tidak sesuai denngan kebenaran. Jika manusia tahu bahwa barang sesuatu adalah tidak benar, maka ia janganlah mau memgerjakannya atau ikut mengerjakannya. Satyagraha juga disebut non kooperasi, artinya menolak terhadap apa yang dianggapnya tidak benar. Jika pemerintahan Inggris dianggapnya tidak benar, maka orang harus non kooperasj terhadapnya atau dengan perkataan lain harus tidak mau bekerja sama dengan penjaiah.
c.       Ahimsa, menentang dengan kekuatan berarti melayani apa yang ditantang itu. Jika apa yang hendak ditantang itu dianggap sepi saja maka itu akan kehilangan kekuatannya. Maka yang tidak menentang atau tidak melayani akan nenang. Musuh semakin lama semakin bosan dan lelah. Ahimsa berarti tidak berbuat apa-apa, tidak karena takut tetapi karena jiwa yang lebih luhur. Ahimsa berarti nengalahkan lawan dengan tidak nelawan, tetapi dengan kekuatan batin (non violence).
d.      Hartal, hartal berarti berkabung karena ada hejadian yang menyedihkan. Hartal iuga nerupakan tanda protes atau tidak setuju terhadap barang sesuatu yang dipandang tidak baik. Sebagai tanda tidak setuju mereka akan tidak berbuat apa-apa atau mogok.
Terbukti bahwa swadeshi, satyagraha, ahimsa, dan hartal merupakan senjata Bangsa India yang sangat sakti dalam perjuangannya terhadap Inggris untuk mencapai kemerdekaan India. Gandhi adalah pemimpin India yang terbesar. Bagi rakyat jelata india, Gandhi dianggap seorang Nabi, seorang Mahatma atau Imam Mahdi.




PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Awal mula aktivitas Inggris di india adalah dalam bidang perdagangan yang dilakukan oleh badan niaga EIC (English East India Company) sejak dibentuk pada tahun 1600. Mohandas Karamchand Gandhi lahir pada tanggal 2 oktober 1869. Ia mengawali karirnya sebagai seorang pengacara di Afrika Selatan. Gandhi mengadakan banyak pawai dan gerakan-gerakan anti kelerasan. Gandhi memutuskan hubungannya dengan kerajaan Inggris dan tercapainya kemerdekaan India melalui cara-cara damai tanpa-kekerasan. Pada 15 Agustus 1947 Inggris memberikan kemerdekaan untuk india. Pada 30 Januari 1948, jam 5.10 sore, sewaktu ia berjalan melintasi taman menuju upacara doa malamnya, Gandhi ditembak dan mati. Ajaran-ajaran Mohandas Karamchand Gandhi yaitu; swadeshi, satyagraha, ahimsa, hartal.

3.2  Saran
Penulis memberikan saran kepada pembaca bahwa perjalanan hidup seorang manusia agung bernama Mahatma Gandhi ini diharapkan menginspirasi kehidupan seluruh manusia di bumi ini. Bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan tanpa kekerasaan, dengan mengutamakan perdamaian dan kebenaran dalam menjalankan kehidupan ini. Kita hidup dalam bumi yang sama tentunya harus bisa saling menghargai dan tolong menolong. Jika tidak maka kehidupan ini akan dipenuhi dengan kekacauan karena kita saling menyalahkan orang lain. Tentunya bumi ini akan lebih baik jika kita bisa duduk bersama untuk memecahkan sebuah masalah. Tanpa menggunakan kekerasaan, niscaya semua masalah bisa terpecahkan bersama.



DAFTAR RUJUKAN

Adams, Jad. 2010. Gandhi: Naked Ambition. London: Clays Ltd.
Brown, J. M. 1974. Gandhi's Rise to Power: Indian Politics 1915-1922. New York:
       Alden & Mowbray Ltd.
Gandhi, M. K. 2009. Mahatma Gandhi: Sebuah Autobiografi. Cetakan 1. Terjemahan
       Andi Tenri. Yogyakarta: Narasi.
Kakar, Sudhir. 2005. Gandhi, Cintaku. Cetakan 1. Esthi A. Budihabsari. Bandung:
       Qanita.
Kidrick, Kathryn. 2006. Gandhi: A political And Spiritual Life. London: I.B.Tauris &
       Co. Ltd.
Parekh, Bikhu. 2010. Gandhi. Toronto: Sterling publishing Co., Inc.
Suwarno. 2012. Dinamika Sejarah Asia Selatan. Yogyakarta: Ombak.
Terchek, R. J. 1998. Gandhi: Struggling for Autonomy. Boston Way: Rowman &
       Littlefield, Inc.

Sejarah Perkembangan Agama-agama di Indonesia: UPACARA ADAT NGABEN UMAT HINDU



  2.1  Pengertian Ngaben

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben alus-singgihnya adalah melebuang atau atiwa-tiwa (Kaler, 1997 : 35). Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).

  2.2  Landasan Filosofis
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
1.      Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
  1. Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
  2. Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben.
4.      Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya.
5.      Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia, dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).

  2.3  Unsur-Unsur Metafisika dalam Ngaben
Berangkat dari ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab persoalan dan menggelar gambaran umum tentang struktur yang ada atau realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang ada).
Telah ditetapkan bahwa dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben.

  2.4  Hari Baik Atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan refleksi dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya dewasa ngaben sarat.
Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.

  2.5  Dasar Hukum
Ngaben merupakan salah satu upacara adat Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yajnya terdiri dari dua kata, yakni Pitra dan dan Yadnya, “pitra” berarti orangtua (ayah dan ibu). Pengertian yang lebih luas bisa disebut leluhur. Sedangkan kata “yadnya” pengorbanan yang didasari hati yang tulus ikhlas nan suci (Kaler, 1997 : 3). Kita ada karena ibu dan Bapak. Ibu dan Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur disebut Pitra Yajna. Hutang ini harus dibayar, membayar utang kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna. Jadi Pitra Yajna merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Veda juga menjadi dasar hukum ngaben atau bakar mayat. Karena Veda merupakan sumber ajaran agama Hindu tertua. Ada empat kitab Veda yaitu: Rg Veda. Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharva Veda. Isinya ialah nyanyian-nyanyian pujaan kepada dewa-dewa. Di dalamnya terdapat renungan tentang Tuhan, alam semesta, dan kehidupan (Sura, dkk, 1994 : 9).

  2.6  Jenis-Jenis Ngaben
2.6.1        Ngaben Sederhana
1.      Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, namun perlu diingat bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2.      Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna.
3.      Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal.
4.      Pranawa Bhuanakosa
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
5.      Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.

2.6.2        Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.
Jenis-jenis Ngaben Sarat:
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
1.    Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan.
2.    Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug).

  2.7  Cara Ngaben
Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben sederhana maupun ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :
1.        Ngaben Langsung
Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan, atau dengan zat kimia lainnya.
2.       Ngaben Massal (ngerit)
Seperti namanya, ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya, sangat bisa diminimalkan.







DAFTAR RUJUKAN

Kaler, I. 1997. Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar. Denpasar: Yayasan
       Dharma Naradha.
Sura, I, dkk. 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar: C.V.
       Kayumas Agung.
Online. http://info.indotoplist.com/ diakses pada tanggal 16 September
       2012.
Online. http://id.wikipedia.org/wiki/Ngaben diakses pada tanggal 16
       September 2012.